Selasa, 22 Maret 2011

EPILEPSI



Penyakit ayan atau epilepsi sudah sering kita dengar, kita tahu gejalanya, tapi ada informasi yang perlu kita kaji lebih lanjut..Tulisan berikut akan mencoba menelaah epilepsi dari mekanisme, tanda dan gejala dan terapinya.Andaikata otak kita anggap sebagai pusat komputer yang secara elektronik mengendalikan seluruh aktivitas badan kita, serangan kejang pada epilepsi adalah wujud lepasnya muatan listrik secara bersamaan dan tidak terprogram dari sekumpulan sel-sel otak atau dari seluruh otak. Akibat lepasnya muatan listrik secara tidak terkontrol ini adalah kejang-kejang yang bisa dimulai dari lengan atau tungkai kemudian menyebar ke seluruh tubuh (.2004 Epilepsy.com)

Bila kejang juga mengenai otot-otot pengunyah di sekitar mulut, kelenjar liur pun seperti diperah sehingga isinya keluar berupa buih/busa di mulut, yang kadang-kadang disertai darah akibat lidah yang tergigit. Anggapan bahwa epilepsi atau ayan dapat ditularkan melalui buih atau busa di mulut tersebut jauh dari kebenaran. Setelah seluruh sel otak melepaskan muatan listriknya, untuk sesaat sel-sel tersebut akan kehabisan energi dan mengalami kelelahan, yang wujudnya adalah penderita yang tak sadar, lelah, atau loyo untuk sementara. Secara medis, keadaan itu disebut paralise todd.Seseorang baru boleh dinyatakan sebagai pengidap epilepsi dengan segala konsekuensinya bila telah dibuktikan bahwa pada tubuh atau otak orang itu tidak ada penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan/disembuhkan, misalnya tumor atau malformasi dari pembuluh darah, atau sisa darah di permukaan otak yang mengiritasi otak. Bentuk serangan epilepsi tidak selalu berupa gejala kejang-kejang. Pada anak-anak misalnya, lebih banyak berupa terdiam atau bengong sesaat, kemudian sadar lagi. Mulut yang tiba-tiba komat-kamit di luar kehendak, atau tangan/kaki yang bergerak-gerak sendiri pada pasien yang tetap sadar, atau seseorang yang tiba-tiba terjatuh dan tak sadar sesaat, juga merupakan bentukserangan epilepsi.Ada kejang yang hanya melibatkan satu daerah saja di otak dan ada kejang yang melibatkan seluruh otak. Kejang parsial melibatkan sebagian kecil daerah di otak, yang bisa menyebar ke seluruh otak. Sedangkan kejang general melibatkan seluruh otak sejak di mulai aktifnya otak. Beberapa penderita merasakan adanya peringatan sebelum datangnya kejang (perut mual, sesuatu yang menjalar dari dalam tubuh, perasaan tidak enak dan lain-lain), peringatan itu di sebut dengan “aura”.Mengapa ada sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listriknya? Keadaan ini disebabkan ada perubahan baik anatomis (struktur/bentuk) maupun biokimiawi pada sel-sel itu atau pada lingkungan di sekitarnya. Perubahan terjadi akibat trauma fisik/benturan/memar pada otak, berkurangnya aliran darah/zat asam akibat penyempitan pembuluh darah, pendesakan/rangsangan oleh tumor, dan yang terpenting (dan baru akhir-akhir ini diketahui) adalah proses sklerosis, yaitu jaringan otak yang mengalami “pengerasan’ akibat dari digantikannya sel-sel saraf/neuron oleh sel-sel penyokong/sel-sel glia/jaringan parut.Penderita dengan epilepsi takut bahwa sepanjang hidupnya akan menderita epilepsi. Mereka takut untuk mengemudi, takut untuk berenang, dan yang paling memalukan adalah mendapat serangan kejang di depan umum. Juga telah menjadi keyakinan bahwa kemungkinan mati mendadak pada penderita epilepsi cukup tinggi. Obat untuk mengontrol epilepsi memiliki efek penenang dan memiliki efek lain berupa melambatnya proses berfikir. Dan ibu hamil dengan terapi epilepsi memiliki kemungkinan untuk terjadinya kecatatan pada janinnya cukup tinggi(2004 Epilepsy.com).

Anatomi dan Fisiologi Neuromuskular dan Kesadaran

Sinaps terdiri dari presinaps dan postsinaps. Ketika terjadi perambatan potensial aksi ke terminal, kanal Ca pada presinaps akan membuka. Proses ini akan diikuti dengan menempelnya neurotransmitter pada membran neuron, lalu neurotransmitter tersebut dilepaskan ke celah sinaps. Neurotransmitter ada dua macam, yaitu neurotransmitter eksitasi dan inhibisi. Bila neurotransmitter eksitasi yang keluar, akan ditangkap oleh reseptor yang cocok pada postsinaps. Ikatan reseptor dengan neurotransmitter akan mengubah permeabilitas membrane otot sehingga ion Na akan masuk. Terjadilah potensial aksi, yang akan menyebabkan terjadinya depolarisasi. Kejadian selanjutnya adalah akan terbentuk ikatan aksin myosin sehingga otot akan berkontraksi. Sedangkan bila neurotransmitter inhibisi yang keluar, setelah berikatan dengan reseptor, perubahan permeabilitas akan memudahkan ion Cl masuk. Ion Cl mengakibatkan muatan sel menjadi negative, maka terjadilah hiperpolarisasi dan inhibisi (Guyton dan Hall, 1997).

Kesadaran diatur oleh serabut transversal retikularis dari batang otak sampai thalamus dan dilanjutkan oleh formasio activator retikularis (ARAS) yang menghubungkan thalamus dengan korteks serebri. ARAS dibagi menjadi dua unit, yaitu unit ascenden spesifik dan aspesifik. Unit ascenden spesifik akan menghantarkan impuls dari reseptor ke korteks sensorik primer. Sedangkan unit ascenden aspesifik, menghantarkan impuls dari semua titik reseptor ke korteks serebri (Price dan Wilson, 2006)

APAKAH EPILEPSI ITU??

Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi, namum dengan gejala yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono dan Sidharta, 2008). Serangan yang bersifat tunggal tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk menegakan diagnosis epilepsi (Harsono, 2007).

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron. (2004 Epilepsy.com).

Epilepsi yang sukar untuk mengendalikan secara medis atau pharmacoresistant , sebab mayoritas pasien dengan epilepsi adalah bersifat menentang, kebanyakan yang sering terserang terlebih dahulu yaitu bagian kepala. Obat yang bisa menenangkan antiepileptik yang standar. Berkaitan dengan biomolekular basis kompleksnya. Sakit kepala yang menyerang sukar sekali untuk diperlakukan secara pharmakologis, walaupun obat antiepileptic sudah secara optimal diberikan,sekitar 30-40% tentang penderita epilepsi yang terjangkit, biasanya pasien melakukan operasi pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit sementara. Akan tetapi gejala epilepsi akan timbul sesekali, karena epilepsi sukar untuk dihilangkan rasa sakit kepala yang menyerang. (2004 Epilepsy.com).

Kejang adalah gerakan otot tonik atau klonik yang involuntar yang merupakan serangan berkala disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Kejang tidak secara otomatis berarti epilepsi. Dengan demikian perlu ditarik garis pemisah yang tegas : manakah kejang epilepsi dan mana pula kejang yang bukan eplepsi? (1234)Tetanus histeri dan kejang demam bukanlah epilepsi walaupun ketiganya menunjukkan kejang seluruh tubuh. Cedera kepala yang berat radang otak radang selaput otak gangguan elektrolit dalam darah kadar gula darah yang terlalu tinggi tumor otak stroke hipoksia semuanya dapat menimbulkan kejang. Kecuali tetanus histeri hal-hal yang tadi kelak di kemudian hari dapat menimbulkan epilepsi.(2004 Epilepsi.com)

* ANGKA KEJADIAN….

Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukan pola bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut(ppcindo.com).

* Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah focus kejang akibat suatu keadaan patologik. Apabila terdapat lesi pada neuron di otak, ada beberapa fenomena yang terjadi :

1. Instabilitas membrane sel. Membrane sel yang tidak stabil, ketika terjadi sedikit saja rangsangan akan mengubah permeabilitas. Hal ini mengakibatkan depolarisasi abnormal dan terjadilah lepas muatan yang berlebihan(eksitatori meningkat).
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun, dan apabila terpicu akan melepaskan muatan berlebihan(inhibisi menurun).
3. Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi gama aminobutirat acid (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron (Price dan Wilson, 2006).

Kejang fokal dapat berubah menjadi jenis kejang lain melalui beberapa tingkatan, hal ini menunjukan adanya penyebaran lepasan listrik ke berbagai bagian otak (Tjahjadi, 2007).

Jika kejang bersifat generalisata, lepas muatan listrik yang berlebihan akan menyebar ke bagian otak secara luas. Penyebaran yang mencapai 2/3 bagian otak akan mengakibatkan penurunan kesadaran.

* Klasifikasi epilepsy

1. Serangan parsial (fokal, local), kesadaran tidak berubah, brasal dari daerah tertentu dalam otak.

* Kejang parsial sederhana. Ditandai dengan kesadaran tetap baik dan dapat berupa : (a) motorik fokal yang menjalar atau tanpa menjalar (tipe Jackson), (b) gerakan versify dengan kepala dan leher menengokm ke salah satu sisi (c) dapat pula sebagai gejala sensorik berupa halusinasi dan kadang berupa kelumpuhan extremitas (paralysis todd).
* Kejang parsial kompleks. Didapat adanya gangguan kesadran dan gejala psikis atau ganggguan fungsi luhur.

2. Serangan umum (generalisata), sejak awal seluiruh otak terlibat secara bersamaan.

* Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal). Dimulai dengan kehilangan kesadaran disusul dengan gejala motorik secara bilateral, dapat berupa ekstensi tonik beberapa menit disusul gerakan klonik yang sinkron dari otot-otot tersebut. Segera sesudah kejang berhnti pasien tertidur.
* Kejang mioklonik. Ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat, sinkron, dan bilateral atau kadang hanya mengenai kelompok otot tertentu
* Kejang lena (petit mal). Ditandai kehilangan kesadaran yang berlangsung sangat singkat. Beberapa episode dapat disertai dengan mata yang menatap kosong atau gerakan mioklonik dari kelompok otot mata atau wajah, otomatisme, kehilangan tonus otot. Kejang berlangsung beberapa detik sampai setengah menit.
* Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot (Harsono, 2007; Price dan Wilson, 2006; Mardjono dan Sidharta, 2008).

Faktor pencetus

* Sensitif pada cahaya yang terang (photo sensitive)
* Minum minuman keras.
* Kurang tidur dan terlalu lelah. Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan serangan.
* Stres emosional.
* Demam dapat mencetuskan perubahan kimiawi dalam otak sehingga mengaktifkan sel-sel otak yang menimbulkan serangan.
* Obat-obatan.
* Perubahan hormonal(Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia, 1996).

Terapi epilepsy.

1. tujuan terapi

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita terbebas dari serangan, khususnya serangan kejang, sedini/seawal mungkin tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat dan penderita dapat melakukan tugas tanpa bantuan. Terapi meliputi terapi kausal, terapi dengan menghindari factor pencetus, dan memakai obat anti konvulsi (Hendra Utama, 2007).

2. sasaran terapi

Sasaran terapi pada epilepsi yaitu menstabilkan membran saraf dan mengurangi aktifitas kejang dengan meningkatkan pengeluaran atau mengurangi pemasukan ion Na+ yang melewati membran sel pada kortek selama pembangkitan impuls saraf.

3.strategi terapi

Strategi terapi untuk epilepsi yaitu menggunakan terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Dengan penanganan yang tepat, 80% penderita epilepsi menunjukkan respon pengobatan yang bagus. Dengan catatan:

1. Minum obat secara teratur.

2. Hindari pencetus (makan tidak teratur, kelelahan, stres fisik dan psikis, kurang tidur).

3. Jika anak sakit cepat berobat, karena demam tinggi, diare, atau muntah yang menyebabkan kekurangan cairan dan elektrolit dapat mencetuskan kejang.

4. Pada epilepsi fotosensitif, hindari cahaya yang berkedip-kedip seperti dari komputer, TV, playstation, video, dan sebagainya.

Dari catatan di atas, jelas terlihat bahwa penderita epilepsi membutuhkan hidup teratur atau pola hidup sehat. Khusus pada remaja putri yang baru saja mendapat menstruasi perlu perhatian khusus, karena perubahan hormonal yang terjadi bisa memicu terjadinya kekambuhan epilepsi. Uniknya, tidak semua epilepsi perlu diobati, jika interval antara kejang pertama dengan kejang berikutnya. Lebih dari 6 bulan, maka tidak perlu obat. Jadi, tak perlu kawatir secara berlebihan, karena ada jalan bagi penderita epilepsi. Dengan mengenali secara dini(e-smartschool).

1. terapi non farmakologi

Terapi non farmakologi bisa dengan melakukan diet, pembedahan dan vagal nerve stimulation (VNS), yaitu implantasi dari perangsang saraf vagal, makan makanan yang seimbang (kadar gula darah yang rendah dan konsumsi vitamin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan terjadinya serangan epilepsi), istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik relaksasi selain juga menghindari factor pencentus lainnya(yosefw.wordpress.com)

* terapi epilepsy dengan diet ketogenik

Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan tinggi lemak dan rendah karbohidrat dan protein sehingga memicu keadaan ketosis.Diet ini mengandung 2-4 gram lemak untuk setiap kombinasi 1 gram karbohidrat dan protein. Diet ketogenik biasanya digunakan sebagai terapi dari epilepsi. Melalui diet ketogenik, lemak menjadi sumber energi dan keton terakumulasi di dalam otak sehingga menjadi tinggi kadarnya (ketosis).Keadaan ketosis ini dipercaya dapat menghasilkan efek antikonvulsi, yang dapat mengurangi simptom epilepsi dengan mengurangi frekuensi dan derajat kejang, meskipun bagaimana mekanisme biokimia peristiwa ini belum diketahui dengan pasti. Pada anak-anak diet ini dirasakan lebih efektif dibandingkan orang dewasa, khususnya pada saat obat antikolvusan tidak bekerja secara efektif atau menjadi kontraindikasi.Makanan yang digunakan dalam diet ini memanfaatkan produk trigliserida dengan kandungan tinggi (mentega, krim, mayonais) dan kacang. Kandungan karbohidrat yang terdapat dalam makanan dan minuman dikurangi untuk menambah efek akumulasi keton. Diet ketogenik sebenarnya telah lama ditemukan yaitu pada sekitar tahun 1930-an; tetapi sejak diketemukannya phenytoin pada tahun 1938, diet ini semakin jarang digunakan. Pada tahun 1990-an diet ini dikembangkan dan diimplementasikan kembali pada klinik Mayo dan Fakultas Kedoketran John Hopkins(vampiresurferz.blogspot.com)

Diet ketogenik merupakan alternatif terapi khususnya pada anak-anak dengan gangguan kejang yang tidak terkendali. Diet harus dilakukan dengan hati-hati dan dibawah pengawasan ahli gizi. Pada diet ketogenik ini hingga 90% sumber kalori dapat diberikan dalam bentuk lemak, dengan asupan protein tidak lebih dari 1g /kg berat badan dan minimal karbohidrat. Rasio standar dari kalori lemak berbanding karbohidrat dan protein adalah 4:1, pada anak-anak yang usianya lebih muda dan remaja rasio bisa menjadi 3:1 hal ini dikarenakan karena mereka dalam usia pertumbuhan sehingga diperlukan asupan protein lebih banyak. Cairan yang masuk dibatasi hingga 80% dari asupan biasa dan vitamin dan mineral harus diberikan dalam bentuk suplemen. Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Fakultas Kedokteran John Hopkins yang melibatkan 150 pasien anak-anak dengan gangguan kejang tidak terkontrol dilaporkan terjadi penurunan serangan setelah pasien menjalani diet ketogenik ini(vampiresurferz.blogspot.com)

Yang banyak menjadi pertanyaan adalah: Apakah diet ini tidak akan mengganggu pertumbuhan dan berat badan anak (anak menjadi obese karena makan tinggi lemak)?Hasil menunjukkan bahwa anak-anak tetap tumbuh dalam batas-batas yang normal. Efek samping yang mungkin muncul akibat diet ketogenik jangka panjang adalah konstipasi, batu ginjal (6-7%); biasanya dalam bentuk kalsium sitrat atau asam urat, turunnya berat badan, dehidrasi, hipekolesterolnemia dan penipisan tulang (oleh karenanya pada diet ini bisanya ditambahkan preparat vitamin D dan kalsium).

Kesuksesan dari diet ini memungkinkan penurunan dosis antikonvulsi yang berarti dapat menurunkan risiko efek samping dari pemakaian obat tersebut, sehingga diet ketogenik dapat dipertimbangkan sebagai terapi alternatif dalam mengontrol serangan kejang khususnya pada anak-anak dengan epilepsi karena selain efektif juga dengan baik dapat ditoleransi (vampiresurferz.blogspot.com).

1. terapi epilepsy dengan pembedahan

Sebagian orang beranggapan bahwa epilepsi tidak harus menjadi penyakit sepanjang hidup. Ternyata ada terapi untuk epilepsi selain dengan obat, yaitu dengan bedah epilepsy. Yang orang masih belum sadari, bahwa bedah epilepsi bisa mengobati epilepsy. diAmerika dari 100.000 penderita yang bisa diterapi dengan pembedahan ,hanya 1.500 pembedahan yang dapat dilakukan pertahunnya. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya tenaga ahli bedah saraf dibidang epilepsy, seberapa efektifnya bedah epilepsi, dan takut terhadap risiko pembedahan. Berikut pernyataan seorang dokter sekaligus dosen fekultas kedokteran diundip semarang yang sedang menempuh pendidikan Doktoral dan fellow di Bagian Bedah Saraf Universitas Hiroshima tentang bedah epilepsy(http://io.ppi-jepang.org/article.)

1. terapi epilepsy dangan lidah buaya

Terapi awal yang bisa dilakukan di rumah, adalah dengan campuran daun lidah buaya dan es batu. Cari daun lidah buaya secukupnya. Haluskan, kemudian dimasukkan ke dalam panci. Beri es batu, ditambah sedikit garam. Selanjutnya campuran tadi, digunakan untuk mengompres kepala. Lakukan sehari satu kali, selama tujuh hari berturut-turut(://id.answers.yahoo.com)

* terapi farmakologi

Obat anti epilepsi (Antiepileptic Drug / AED) digolongkan berdasarkan mekanisme kerjanya:

* obat-obat yang mengkatkan inaktivasi kanal Na: Fenitoin, karbamazepin, lomotigrin, okskarbazepin, valproat
* agonis GABA: benzodiazepine, barbiturat
* menghambat GABA transaminase: vigabatrin
* menghambat GABA transporter: tiagabin
* miningkatkan konsentrasi GABA pada cabang serebrospinal: gabapentin

Penanganan kejang secara modern bermula dari tahun 1850 dengan pemberian Bromida dengan dasar teori bahwa epilepsi disebabkan oleh suatu dorongan sex yang berlebih. Pada tahun 1910 kemudian digunakan Fenobarbital yang awalnya dipakai untuk menginduksi tidur kemudian diketahui mempunyai efek antikonvulsan dan menjadi obat pilihan selama bertahun-tahun. Sejumlah obat lain yang juga digunakan sebagai pengganti Fenobarbital termasuk Pirimidone dan Fenitoin yang kemudian menjadi first line drug epilepsi utama untuk penanganan kejang parsial dan generalisata sekunder. Pada tahun 1968 Karbamazepin awalnya digunakan untuk neuralgia trigeminal kemudian pada tahun 1974 digunakan untuk kejang parsial. Etosuksimid telah digunakan sejak 1958 sebagai obat utama untuk penanganan absence seizures tanpa kejang tonik klonik generalisata. Valproate mulai digunakan 1960 dan saat ini sudah tersedia di seluruh dunia dan menjadi drug of choice pada epilepsy primer generalisata dan kejang parsial(health-know.org)

Pengobatan dilakukan tergantung dari jenis kejang yang dialami. Pemberian obat anti epilepsi selalu dimulai dengan dosis yang rendah, dosis obat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat dikontrol atau tejadi efek kelebihan dosis. Pada pengobatan kejang parsial atau kejang tonik-klonik rata-rata keberhasilan lebih tinggi menggunakan fenitoin, karbamazepin, dan asam valproat. Pada sebagian besar pasien dengan 1 tipe/jenis kejang, kontrol memuaskan dapat dicapai dengan 1 obat anti epilepsi. Pengobatan dengan 2 macam obat mungkin ke depannya mengurangi frekuensi kejang, tetapi biasanya toksisitasnya lebih besar. Pengobatan dengan lebih dari 2 macam obat, hampir selalu membantu penuh kecuali kalau pasien mengalami tipe kejang yang berbeda(yosefw.wordpress.com)

Pengobatan Epilepsi Obat pertama yang paling lazim dipergunakan(seperti: sodium valporat, Phenobarbital dan phenytoin). Ini adalah anjuran bagi penderita epilepsy yang baru. Obat-obat ini akan memberi efek samping seperti gusi bengkak, pusing, jerawat dan badan berbulu (Hirsutisma), bengkak biji kelenjar dan osteomalakia.Obat kedua yang lazim digunakan :( seperti: lamotrigin, tiagabin dan gabapetin) Jika tidak terdapat perubahan kepala penderita setelah menggunakan obat pertama, obatnya akan di tambah dengan obatan kedua Lamotrigin telah diluluskan sebagai obat pertama di Malaysia Obat baru yang diperkenalkan tidak dimiliki efek samping, terutama dalam hal kecacatan sewaktu kelahiran(segalapenyakit.blogspot.com)

Setelah diagnosa ditetapkan maka tindakan terapeutik diselenggarakan. Semua orang yang menderita epilepsi, baik yang idiopatik maupun yang non-idiopatik, namun proses patologik yang mendasarinya tidak bersifat progresif aktif seperti tumor serebri, harus mendapat terapi medisinal. Obat pilihan utama untuk pemberantasan serangan epileptik jenis apapun, selain petit mal, adalah luminal atau phenytoin. Untuk menentukan dosis luminal harus diketahui umur penderita, jenis epilepsinya, frekuensi serangan dan bila sudah diobati dokter lain. Dosis obat yang sedang digunakan. Untuk anak-anak dosis luminal ialah 3-5 mg/kg/BB/hari, sedangkan orang dewasa tidak memerlukan dosis sebanyak itu. Orang dewasa memerlukan 60 sampai 120 mg/hari. Dosis phenytoin (Dilatin, Parke Davis) untuk anak-anak ialah 5 mg/kg/BB/hari dan untuk orang dewasa 5-15 mg/kg/BB/hari. Efek phenytoin 5 mg/kg/BB/hari (kira-kira 300 mg sehari) baru terlihat dalam lima hari. Maka bila efek langsung hendak dicapai dosis 15 mg/kg/BB/hari (kira-kira 800 mg/hari) harus dipergunakan.

Efek antikonvulsan dapat dinilai pada ‘follow up’. Penderita dengan frekuensi serangan umum 3 kali seminggu jauh lebih mudah diobati dibanding dengan penderita yang mempunyai frekuensi 3 kali setahun. Pada kunjungan ‘follow up’ dapat dilaporkan hasil yang baik, yang buruk atau yang tidak dapat dinilai baik atau buruk oleh karena frekuensi serangan sebelum dan sewaktu menjalani terapi baru masih kira-kira sama. Bila frekuensinya berkurang secara banding, dosis yang sedang dipergunakan perlu dinaikan sedikit. Bila frekuensinay tetap, tetapi serangan epileptik dinilai oleh orangtua penderita atau penderita epileptik Jackson motorik/sensorik/’march’ sebagai ‘enteng’ atau ‘jauh lebih ringan’, maka dosis yang digunakan dapat dilanjutkan atau ditambah sedikit. Jika hasilnya buruk, dosis harus dinaikan atau ditambah dengan antikonvulsan lain(io.ppi-jepang.org/article.)

* Profil obat epilepsy
* Fenobarbital

Merupakan obat antiepilepsi atau antikonvulsi yang efektif. Toksisitasnya relatif rendah murah efektif dan banyak dipakai. Dosis antikonvulsinya berada di bawah dosis untuk hipnotis. Ia merupakan antikonvulsan yang non-selektive. Manfaat terapeutik pada serangan tonik-klonik generalisata (grand mall) dan serangan fokal kortikal

* Primidon

Efektif untuk semua jenis epilepsy kecuali absence. Efek antikonvulsi ditimbulkan oleh primidon dan metabolit aktifnya.

* Hidantoin

Yang termasuk dalamm golongan ini adalah fenitoin mefenitoin dan etotoin.

Fenitoin adalah obat primer untuk semua bangkitan parsial dan bangkitan tonik-klonik kecuali bangkitan absence (absence seizure). Fenitoin tidak sedative pada dosis biasa. Berbeda dengan fenobarbital obat ini juga efektif pada beberapa kasus epilepsy lobus temporalis

* Karbamazepine

Termasuk dalam golongan iminostilbenes. Manfaat terapeutik ialah untuk Epilepsi lobus temporalis sendiri atau kombinasi dengan bangkitan generalisata tonik-klonik (GTCS).

* Etosuksimid

Obat ini dipakai untuk bangkitan absence. Efek antikonvulsi pada binatang sama halnya dengan trimetadion. Proteksi terhadap pentilentetrazol akan menaikkan nilai ambang serangan. Manfaat terapeutik ialah terhadap bengkitan absence.Asam valproat

* (Valproic acid)

Asam valproat dipakai untuk berbagai jenis serangan atau bangkitan. Efek sedasinya minimal efek terhadap SSP lain juga minimal. Terhadap Pentilen tetrazol potensi asam valproat lebih besar daripada etosuksimid tapi lebih kecil pada fenobarbital. Asam valproat lebih bermanfaat untuk bangkitan absence daripada terhadap bangkitan umum tonik-klonik(health-know.org)

STROKE (KONSEP DASAR)

1. Pengertian Umum Stroke
Stroke adalah kehilangan fungsi otak diakibatkan oleh berhentinya suplai
darah ke bagian otak, biasanya merupakan kulminasi penyakit serebrovaskuler
selama beberapa tahun (Smeltzer, 200 1).Stroke merupakan sindrom klinis yang timbulnya mendadak, progresi
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam
atau lebih, bisa juga langsung menimbulkan kematian yang disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak n on traumatik (Mansjoer, 2000).
Stroke digunakan untuk menamakan sindrom hemiparesis atau
hemiparalis akibat lesi vaskular yang bisa bangkit dalam beberapa detik sampai
hari, tergantung pada jenis penyakit yang menjadi kausanya (Sidharta, 1994).
2. Klasifikasi StrokeMenurut Satyanegara (1998), gangguan peredaran darah otak atau stroke
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Non Haemorrhagi/Iskemik/Infark
1)Transient Ischemic Attack (TIA)/Serangan Iskemi Sepintas
TIA merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode serangan
sesaat dari suatu disfungsi serebral fokal akibat gangguan vaskuler,
dengan lama serangan sekitar 2 -15 menit sampai paling lama 24 jam.
2) Defisit Neurologis Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurologi Defisit
(RIND)
Gejala dan tanda gangguan neurologis yang berlangsung lebih lama dari
24 jam dan kemudian pulih kembali (dalam jangka waktu kurang dari tiga
minggu).
3) In Evolutional atau Progressing Stroke
Gejala gangguan neurologis yang progresif dalam waktu enam jam atau
lebih.4) Stroke Komplit (Completed Stroke / Permanent Stroke )
Gejala gangguan neurologis dengan lesi -lesi yang stabil selama periode
waktu 18-24 jam, tanpa adanya progesifitas lanjut.

b. Stroke Haemorrhagi

Perdarahan intrakranial dibedakan berdasarkan tempat perda rahannya, yakni
di rongga subararakhnoid atau di dalam parenkhim otak (intraserebral). Ada
juga perdarahan yang terjadi bersamaan pada kedua tempat di atas seperti:
perdarahan subarakhnoid yang bocor ke dalam otak atau sebaliknya.
Selanjutnya gangguan-gangguan arteri yang menimbulkan perdarahan otak
spontan dibedakan lagi berdasarkan ukuran dan lokasi regional otak.

3. Faktor Risiko Terjadinya Stroke
Menurut Baughman (2000) yang menentukan timbulnya manifestasi
stroke dikenal sebagai faktor risiko stroke. A dapun faktor-faktor tersebut:
a. Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial.
b. Diabetes Mellitus merupakan faktor risiko terjadi stroke yaitu dengan
peningkatan aterogenesis.
c. Penyakit Jantung/Kardiovaskuler berpotensi untuk menimbulkan stroke. Faktor risiko ini akan menimbulkan embolisme serebral yang berasal dari
jantung.
d. Kadar hematokrit normal tinggi yang berhubungan dengan infark cerebral.
e. Kontrasepsi oral, peningkatan oleh hipertensi yang menyertai, usia di atas 35 tahun, perokok, dan kadar es trogen tinggi.
f. Penurunan tekanan darah yang berlebihan atau dalam jangka panjang dapat
menyebabkan iskemia cerebral umum.
g. Penyalahgunaan obat, terutama pada remaja dan dewasa muda.
h. Konsumsi alkohol
Sedangkan menurut Harsono (1996), semua faktor yang menen tukan
timbulnya manifestasi stroke dikenal sebagai faktor risiko stroke. Adapun faktor -
faktor tersebut antara lain:
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat
mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak.
Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak dan
apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan
terganggu dan sel – sel otak akan mengalami kematian.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang
berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan
menyempitkan diameter pembuluh darah tadi dan penyempitan tersebut
kemudian akan mengganggu kelancaran aliran ke otak, yang pada akhirnya
akan menyebabkan infark sel – sel otak.
c. Penyakit Jantung
Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke. Faktor risiko
ini akan menimbulkan hambatan/sumbatan aliran darah ke otak karena
jantung melepas gumpalan darah atau sel – sel/jaringan yang telah mati ke
dalam aliran darah.
d. Gangguan Aliran Darah Otak Sepintas
Pada umumnya bentuk – bentuk gejalanya adalah sebagai berikut :
Hemiparesis, disartri, kelumpuhan otot – otot mulut atau pipi (perot),
kebutaan mendadak, hemiparestesi dan afasia.
e. Hiperkolesterolemi
Meningginya angka kolesterol dalam darah, terutama low density lipoprotein
(LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya arteriosklerosis
(menebalnya dinding pembuluh darah yang kemudian diikuti penurunan
elastisitas pembuluh darah). Peningkatan kad ar LDL dan penurunan kadar
HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor risiko untuk terjadinya
penyakit jantung koroner.
f. Infeksi
Penyakit infeksi yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke adalah
tuberkulosis, malaria, lues, leptospirosis, dan in feksi cacing.
g. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung.
h. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark jantung.
i. Kelainan pembuluh darah otak
Pembuluh darah otak yang tidak normal suatu saat akan pecah dan
menimbulkan perdarahan.
j. Lain – lain
Lanjut usia, penyakit paru – paru menahun, penyakit darah, asam urat yang
berlebihan, kombinasi berbagai faktor risiko secara teori.

4. Etiologi
Menurut Smeltzer (2001) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
empat kejadian yaitu:
a. Trombosis serebral
Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling
umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala
adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami pusing,
perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak
dapat dibedakan dari haemorrhagi intracerebral atau embolisme serebral.
Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan
kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada setengah
tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang -
cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau
hemiplegia tiba-tiba dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan
kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah
karakteristik dari embolisme serebral.
c. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d. Haemorrhagi serebral
1) Haemorrhagi ekstradural (haemorrhagi epidural) adalah kedaruratan
bedah neuro yang memerlukan perawata n segera. Keadaan ini biasanya
mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah arteri
meninges lain, dan pasien harus diatasi dalam beberapa jam cedera
untuk mempertahankan hidup.
2) Haemorrhagi subdural pada dasarnya sama dengan haemorrhagi epidu ral,
kecuali bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena robek.
Karenanya periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin
mengalami haemorrhagi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda atau
gejala.
3) Haemorrhagi subarakhnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau
hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme
pada area sirkulus Willisi dan malformasi arteri vena kongenital pada
otak.
4) Haemorrhagi intracerebral adalah perdar ahan di substansi dalam otak
paling umum pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral,
karena perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya
menyebabkan ruptur pembuluh darah. Biasanya awitan tiba -tiba,
dengan sakit kepala berat. Bila ha emorrhagi membesar, makin jelas
defisit neurologik yang terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran dan
abnormalitas pada tanda vital.

5. Patofisiologi
Menurut Long (1996), otak sangat tergantung kepada oksigen dan tidak
mempunyai cadangan oksigen. Bila terjadi anoksia seperti halnya yang terjadi
pada CVA, metabolisme di otak segera mengalami perubahan, kematian sel dan
kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3 sampai 10 menit. Tiap kondisi yang
menyebabkan perubahan perfusi otak akan menimbulkan hipoksia atau a noksia.
Hipoksia menyebabkan ischemik otak. Ischemik dalam otak waktu lama
menyebabkan sel mati permanen dan berakibat terjadi infark otak yang disertai
dengan edema otak. Karena pada daerah yang dialiri darah terjadi penurunan
perfusi dan oksigen serta peningkatan karbondioksida dan asam laktat.
Menurut Satyanegara (1998), adanya gangguan peredaran darah otak
dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui empat mekanisme yaitu:
a. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau
penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak
tidak adekuat, serta selanjutnya akan mengakibatkan perubahan -perubahan
iskemik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat menimbulkan
nekrosis (infark).
b. Pecahnya dinding arteri cerebral akan menyebabkan bocornya darah ke
jaringan (haemorrhagi).
c. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan
jaringan otak (misalnya: malformasi angiomatosa, aneurisma).
d. Edema cerebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interst isiel
jaringan otak.

6. Manifestasi Klinik.
Menurut Smeltzer (2001) manifestasi klinis stroke terdiri atas:
a. Defisit Lapang Penglihatan
1) Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan)
Tidak menyadari orang atau objek ditempat kehilanga n, penglihatan,
mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak.
2) Kehilangan penglihatan perifer
Kesulitan melihat pada malam hari, tidak menyadari objek atau batas objek.
3) Diplopia
Penglihatan ganda.
b. Defisit Motorik
1) Hemiparesis
Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama.
Paralisis wajah (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
2) Ataksia
Berjalan tidak mantap, tegak
Tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang luas.
3) Disartria
Kesulitan dalam membentuk kata.
4) Disfagia
Kesulitan dalam menelan.
c. Defisit Verbal
1) Afasia Ekspresif
Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, mungkin mampu
bicara dalam respon kata tunggal.
2) Afasia Reseptif
Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan, mam pu bicara tetapi tidak
masuk akal.
3) Afasia Global
Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
d. Defisit Kognitif
Pada penderita stroke akan kehilangan memori jangka pendek dan panjang,
penurunan lapang perhatian, kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi ,
alasan abstrak buruk, perubahan penilaian.
e. Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas emosional,
penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi, menarik
diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, per asaan isolasi.

7. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan lain seperti tingkat
kesadaran, kekuatan otot, tonus otot, pemeriksaan radiologi dan laboratorium.
Pada pemeriksaan tingkat kesadaran dilakukan pemeriksaan yang dikenal
sebagai Glascow Coma Scale untuk mengamati pembukaan kelopak mata,
kemampuan bicara, dan tanggap motorik (gerakan).
Pemeriksaan tingkat kesadaran adalah dengan pemeriksaan yang dikenal
sebagai Glascow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai berikut:
a. Membuka mata
1) Membuka spontan : 4
2) Membuka dengan perintah : 3
3) Membuka mata karena rangsang nyeri : 2
4) Tidak mampu membuka mata : 1
b. Kemampuan bicara
1) Orientasi dan pengertian baik : 5
2) Pembicaraan yang kacau : 4
3) Pembicaraan tidak pantas dan kasar : 3
4) Dapat bersuara, merintih : 2
5) Tidak ada suara : 1
c. Tanggapan motorik
1) Menanggapi perintah : 6
2) Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang : 5
3) Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri : 4
4) Tanggapan fleksi abnormal : 3
5) Tanggapan ekstensi abnormal : 2
6) Tidak ada gerakan : 1
Sedangkan untuk pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut:
0 : Tidak ada kontraksi otot
1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3 : Mampu angkat tangan, tidak mampu menahan gravitasi
4 : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa
5 : Kekuatan penuh
Menurut Carpenito (1998), evaluasi masing – masing AKS (Aktivitas
Kehidupan Sehari – hari) menggunakan skala sebagai berikut:
0 : Mandiri keseluruhan
1 : Memerlukan alat bantu
2 : Memerlukan bantuan minimal
3 : Memerlukan bantuan dan/atau beberapa pengawasan
4 : Memerlukan pengawasan keseluruhan
5 : Memerlukan bantuan total
Menurut Tucker (1998), fungsi saraf cranial adalah sebagai berikut:
a. Saraf Olfaktorius (N.I): Penghidu/penciuman.
b. Saraf Optikus (N.II): Ketajaman penglihatan, lapang pandang.
c. Saraf Okulomotorius (N.III): Reflek pupil, otot ocular, eksternal termasuk
gerakan ke atas, ke bawah dan medial, kerusakan akan menyebabkan otosis
dilatasi pupil.
d. Saraf Troklearis (N.IV): Gerakan ocular menyebabkan ketidak mampuan
melihat ke bawah dan ke samping.
e. Saraf Trigeminus (N.V): fungsi sensori, reflek kornea, kulit wajah dan dahi,
mukosa hidung dan mulut, fungsi motorik, reflek rahang.
f. Saraf Abduschen (N.VI): gerakan o cular, kerusakan akan menyebabkan
ketidakmampuan ke bawah dan ke samping.
g. Saraf Facialis (N.VII): fungsi motorik wajah bagian atas dan bawah,
kerusakan akan menyebabkan asimetris wajah dan poresis.
h. Saraf Akustikus (N.VIII): tes saraf koklear, pendengaran, konduksi udara dan
tulang, kerusakan akan menyebabkan tinitus atau kurang pendengaran atau
ketulian.
i. Saraf Glosofaringeus (N.IX): fungsi motorik, reflek gangguan faringeal atau
menelan.
j. Saraf Vagus (N.X): bicara.
k. Saraf Asesorius (N.XI): kekuatan otot trape sus dan sternokleidomastouides,
kerusakan akan menyebabkan ketidakmampuan mengangkat bahu.
l. Saraf Hipoglosus (N.XII): fungsi motorik lidah, kerusakan akan menyebabkan
ketidakmampuan menjulurkan dan menggerakkan lidah.
Menurut Tucker (1998), pemeriksaan pada penderita coma antara lain:
a. Gerakan penduler tungkai
Pasien tetap duduk di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung, kemudian
kaki diangkat kedepan dan dilepas. Pada waktu di lepas akan ada gerakan
penduler yang makin lama makin kecil dan biasanya ber henti 6 atau 7
gerakan. Beda pada regiditas ekstramidal akan ada pengurangan waktu
tetapi tidak teratur atau tersendat – sendat.
b. Menjatuhkan tangan
Tangan pasien diangkat kemudian dijatuhkan. Pada kenaikan tonus
(hipertoni) terdapat penundaan jatuhnya le ngan kebawah. Sementara pada
hipotomisitas jatuhnya cepat.
c. Tes menjatuhkan kepala
Pasien berbaring tanpa bantal, pasien dalam keadaan relaksasi, mata
terpejam. Tangan pemeriksa yang satu diletakkan dibawah kepala pasien,
tangan yang lain mengangkat kepala dan menjatuhkan kepala lambat. Pada
kaku kuduk (nuchal regidity) oleh karena iritasi meningeal terdapat hambatan
dan nyeri pada fleksi leher.

8. Prognosis Stroke
Menurut Harsono (1996) dipengaruhi oleh beberapa faktor:
a. Tingkat kesadaran: sadar 16 % mening gal, somnolen 39 % meninggal, yang
stupor 71 % meninggal, dan bila koma 100 % meninggal.
b. Usia: pada usia 70 tahun atau lebih, angka – angka kematian meningkat
tajam.
c. Jenis kelamin: laki – laki lebih banyak (16 %) yang meninggal dari pada
perempuan (39 %).
d. Tekanan darah: tekanan darah tinggi prognosis jelek.
e. Lain – lain: cepat dan tepatnya pertolongan.

9. Penatalaksanaan Stroke
Menurut Harsono (1996), kematian dan deteriosasi neurologis minggu
pertama stroke iskemia oleh adanya odema otak. Odem otak timbul dalam
beberapa jam setelah stroke iskemik dan mencapai puncaknya 24 -96 jam.
Odema otak mula - mula cytofosic, karena terjadi gangguan pada
metabolisme seluler kemudian terdapat odema vasogenik karena rusaknya
sawar darah otak setempat. Untuk menurunkan od ema otak, dilakukan hal
sebagai berikut:
a. Naikkan posisi kepala dan badan bagian atas setinggi 20 -30.
b. Hindarkan pemberian cairan intravena yang berisi glukosa atau cairan
hipotonik.
c. Pemberian osmoterapi yaitu :
1) Bolus marital 1gr/kg BB dalam 20 -30 menit kemudian dilanjutkan dengan
dosis 0,25 gr/kg BB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target
osmolaritas 300-320 mmol/liter.
2) Gliserol 50% oral 0, 25 - 1gr/kg BB setiap 4 atau 6 jam atau geiseral 10%.
Intravena 10 ml/kg BB dalam 3 -4 jam (untuk odema cerebr i ringan,
sedang).
3) Furosemide 1 mg/kg BB intravena.
d. Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen hiperbarik sampai
PCO2 = 29-35 mmHg.
e. Tindakan bedah dikompresif perlu dikerjakan apabila terdapat supra tentoral
dengan pergeseran linea mediarea atau cerebral infark disertai efek rasa.
f. Steroid dianggap kurang menguntungkan untuk terapi udara cerebral oleh
karena disamping menyebabkan hiperglikema juga naiknya resiko infeksi.

10. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Harsono (1996) pemeriksaan penunjang yang da pat dilakukan
pada penderita stroke adalah sebagai berikut:
a. Head CT Scan
Pada stroke non hemorhargi terlihat adanya infark sedangkan pada stroke
haemorhargi terlihat perdarahan.
b. Pemeriksaan lumbal pungsi
Pada pemeriksaan pungsi lumbal untuk pemeriksaan dia gnostik diperiksa
kimia sitologi, mikrobiologi, virologi . Disamping itu dilihat pula tetesan cairan
cerebrospinal saat keluar baik kecepatannya, kejernihannya, warna dan
tekanan yang menggambarkan proses terjadi di intra spinal. Pada stroke non
hemorargi akan ditemukan tekanan normal dari cairan cerebrospinal jernih.
Pemeriksaan pungsi cisternal dilakukan bila tidak mungkin dilakukan pungsi
lumbal. Prosedur ini dilakukan dengan supervisi neurolog yang telah
berpengalaman.
c. Elektrokardiografi (EKG)
Untuk mengetahui keadaan jantung dimana jantung berperan dalam suplai
darah ke otak.
d. Elektro Encephalo Grafi
Elektro Encephalo Grafi mengidentifikasi masalah berdasarkan gelombang
otak, menunjukkan area lokasi secara spesifik.
e. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan darah, kekentalan
darah, jumlah sel darah, penggumpalan trombosit yang abnormal dan
mekanisme pembekuan darah.
f. Angiografi cerebral
Pada cerebral angiografi membantu secara spesifik penyebab stroke seperti
perdarahan atau obstruksi arteri, memperlihatkan secara tepat letak
oklusi atau ruptur.
g. Magnetik Resonansi Imagine (MRI)
Menunjukkan darah yang mengalami infark, haemorhargi, Malformasi Arterior
Vena (MAV). Pemeriksaan ini lebih canggih dibanding CT Scan.
h. Ultrasonografi dopler
Mengidentifikasi penyakit Malformasi Arterior Vena .
(Harsono,1996).
Menurut Wibowo (1991), pemeriksaan X-Ray kepala dapat menunjukkan
perubahan pada glandula peneal pada sisi yang berlawanan dari massa yang
meluas, klasifikasi karotis internal yang dapat dilihat pada trombosis cerebral,
klasifikasi parsial pada dinding aneurisme pada perdarahan subarachnoid.

11. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998):
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1) Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya
menimbulkan kematian.
2) Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.
b. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)
1) Pneumonia: Akibat immobilisasi lama
2) Infark miokard
3) Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali pada
saat penderita mulai mobilisasi.
4) Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat.
c. Komplikasi Jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, ga ngguan vaskular lain: penyakit vaskular
perifer.
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien stroke
yaitu:
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi
b. Penurunan darah serebral
c. Embolisme serebral.

MIGREN (migraine)



BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dikeluhkan oleh pasien. Salah satu keluhan tersebut adalah “nyeri kepala sebelah” atau yang dikenal sebagai migren.  30-40 % penduduk USA pernah mengalami nyeri kepala hebat pada masa hidupnya, dimana nyeri tegang otot dan migraine menduduki peringkat nomor satu.1
Migren merupakan penyakit yang sering terjadi di masyarakat baik mulai dari anak-anak sampai dewasa, akan tetapi jarang setelah umur 40 tahun. Diperkirakan 9% dari laki-laki, 16% dari wanita, dan 3-4% dari anak-anak menderita migren. Dua perseratus dari kunjungan baru di unit rawat jalan penyakit saraf menderita nyeri kepala migren. 2
Migren merupakan nyeri kepala primer. Nyeri kepala biasanya terasa berdenyut di satu sisi kepala (unilateral) dengan intensitas sedang sampai berat dan bertambah dengan aktivitas. Dapat disertai mual dan atau muntah atau fonofobia dan fotofobia Banyaknya dan frekuensi serangan sangat beraneka-ragam, dari tiap hari sampai satu serangan per minggu atau bulan.1
Meski belum diketahui pasti penyebabnya, migrain diperkirakan terjadi akibat adanya hiperaktivitas impuls listrik otak yang meningkatkan aliran darah di otak dan mengakibatkan terjadinya pelebaran pembuluh darah otak serta proses inflamasi (peradangan). Pelebaran dan inflamasi ini menyebabkan timbulnya nyeri dan gejala lain, seperti mual. Semakin berat inflamasi yang terjadi, semakin berat pula migrain yang diderita. Faktor genetik umumnya sangat berperan pada timbulnya migren.
Nyeri kepala ini merupakan penyakit yang sering menyebabkan disabilitas, di lain pihak sampai saat ini tampaknya belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan migren kecuali hanya usaha mengendalikan serangan nyeri kepala ini. Diagnosis yang akurat, memberi penerangan mengenai penyakitnya, berusaha menenangkan pasien serta memberi perhatian dan mengajak pasien bekerja sama dalam mengenal gejala dini dan gejala migren pada umumnya serta tindakan penanggulangannya merupakan bagian dari penatalaksanaan migren yang dapat menurunkan angka morbiditas pasien.1


BAB II
II. 1 DEFINISI
Migren adalah serangan nyeri kepala berulang, dengan karakteristik lokasi unilateral, berdenyut dan frekuensi, lama serta hebatnya rasa nyeri yang beraneka ragam.2,3,5Blau mengusulkan definisi migren sebagai berikut nyeri kepala yang berulang-ulang dan berlangsung 2-72 jam dan bebas nyeri antara serangan nyeri kepalanya harus berhubungan dengan gangguan visual atau gastrointestinal atau keduanya.2

Angka kejadian
Migren dapat terjadi pada anak-anak sampai orang dewasa, biasanya jarang terjadi setelah berumur lebih dari 50 tahun. Angka kejadian migren dalam kepustakaan berbeda-beda pada setiap negara, umumnya berkisar antara 5 – 6 % dari populasi. Di Indonesia belum ada data secara kongkret. Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1. Wanita hamil tidak luput dari serangan migren, pada umumnya serangan muncul pada kehamilan trimester I.

II. 2 KLASIFIKASI
Klasifikasi migren menurut International Headache Society (IHS):
1. Migrain tanpa aura (common migraine)- Nyeri kepala selama 4-72 jam tanpa terapi. Sekurang-kurangnya 10 kali serangan. Pada anak-anak kurang dari 15 tahun, nyeri kepala dapat berlangsung 2-48 jam.
- Nyeri kepala minimal mempunyai dua karakteristik berikut ini:
•Lokasi unilateral•Kuafitas berdenyut
•Intensitas sedang sampai berat yang menghambat aktivitas sehari-hari.
•Diperberat dengan naik tangga atau aktivitas fisik rutin.
- Selama nyeri kepala, minimal satu dari gejala berikut muncul:
•Mual dan atau muntah
•Fotofobia dan fonofobia- Minimal terdapat satu dari berikut:
•Riwayat dan pemeriksaan fisik tidak mengarah pada kelainan lain.
•Riwayat dan pemeriksaan fisik mengarah pada kelainan lain, tapi telah disingkirkan dengan pemeriksaan penunjang yang memadai (mis: MRI atau CT Scan kepala)
2. Migrain dengan aura (classic migraine)
- Terdiri dari empat fase yaitu: fase prodromal, fase aura, fase nyeri kepala dan fase postdromal.
- Aura dengan minimal 2 serangan
- Terdapat minimal 3 dari 4 karakteristik sebagai berikut :
• Satu gejala aura atau lebih mengindikasikan disfungsi CNS fokal (mis: vertigo, tinitus, penurunan pendengaran, ataksia, gejala visual pada hemifield kedua mata, disartria, diplopia, parestesia, paresis, penurunan kesadaran)• Gejala aura timbul bertahap selama lebih dari 4 menit atau dua atau lebih gejala aura terjadi bersama-sama• Tidak ada gejala aura yang berlangsung lebih dari 60 menit; bila lebih dari satu gejala aura terjadi, durasinya lebih lama
• Nyeri kepala mengikuti gejala aura dengan interval bebas nyeri kurang dari 60 menit, tetapi kadang-kadang dapat terjadi sebelum aura.
- Sekurang-kurangnya terdapat satu dari yang tersebut dibawah ini :
•Riwayat dan pemeriksaan fisik tidak mengarah pada kelainan lain.
•Riwayat dan pemeriksaan fisik mengarah pada kelainan lain, tapi telah disingkirkan dengan pemeriksaan penunjang yang memadai (mis: MRI atau CT Scan kepala)
3. Migraine with prolonged aura
- Memenuhi kriteria migren dengan aura tetapi aura terjadi selama lebih dari 60 menit dan kurang dari 7 hari.
4. Basilar migraine (menggantikan basilar artery migraine)
- Memenuhi kriteria migren dengan aura dengan dua atau lebih gejala aura sebagai berikut: vertigo, tinnitus, penurunan pendengaran, ataksia, gejala visual pada hemifield kedua mata, disartria, diplopia, parestesia bilateral, paresis bilateralda penurunan derajat kesadaran.
5. Migraine aura without headache (menggantikan migraine equivalent atau achepalic migraine)
- Memenuhi kriteria migren dengan aura tetepi tanpa disertai nyeri kepala
6. Benign paroxysmal vertigo of childhood- Episode disekuilibrium, cemas, seringkali nystagmus atau muntah yang timbul secara sporadis dalam waktu singkat.
- Pemeriksaan neurologis normal.
- Pemeriksaan EEG normal
7. Migrainous infraction (menggantikan complicated migraine)
- Telah memenuhi kriteria migren dengan aura.
- Serangan yang terjadi sama persis dengan serangan yang sebelumnya, akan tetapi defisit neurologis tidak sembuh sempurna dalam 7 hari dan atau pada pemeriksaan neuroimaging didapatkan infark iskemik di daerah yang sesuai- Penyebab infark yang lain disingkirkan dengan pemeriksaan yang memadai.
8. Migren oftalmoplegik dengan ciri-ciri:
• Migren yang dicirikan oleh serangan berulang-ulang yang berhubungan dengan paresis
• Tidak ada kelainan organik.
• Paresis pada saraf otak ke III, IV, VI

9. Migren hemiplegic familial
- migren dengan aura termasuk hemiparesis dengan criteria klinik yang sama seperti migren aura dan sekurang-kurangnya seorang keluarga terdekat memiliki riwayat migren yang sama
10. Migren retinal dengan ciri-ciri:
• Terjadi berulang kali dalam bentuk buta tidak lebih dari 1 jam.• Gangguan okuler dan vaskuler tidak dijumpai.
11. Migren yang berhubungan dengan intrakranial dengan ciri-ciri:
• Gangguan intrakranial berhubungan dengan awitan secara temporal.
• Aura dan lokasi nyeri kepala berhubungan erat dengan jenis lesi intrakranial.
Aura ialah gejala fokal neurologi yang komplek dan dapat timbul sebelum, pada saat atau setelah serangan nyeri kepala
II. 3 ETIOLOGI DAN FAKTOR PENCETUS
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab migren, di duga sebagai gangguan neurobiologis, perubahan sensitivitas sistim saraf dan avikasi sistem trigeminal-vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri kepala primer.
Diketahui ada beberapa faktor pencetus timbulnya serangan migren yaitu:
1. Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/ perubahan hormonal.
Beberapa wanita yang menderita migren merasakan frekuensi serangan akan meningkat saat masa menstruasi. Bahkan ada diantaranya yang hanya merasakan serangan migren pada saat menstruasi. Istilah ‘menstrual migraine’ sering digunakan untuk menyebut migren yang terjadi pada wanita saat dua hari sebelum menstruasi dan sehari setelahnya. Penurunan kadar estrogen dalam darah menjadi biang keladi terjadinya migren.
2. Kafein
Kafein terkandung dalam banyak produk makanan seperti minuman ringan, teh, cokelat, dan kopi. Kafein dalam jumlah sedikit akan meningkatkan kewaspadaan dan tenaga, namun bila diminum dalam dosis yang tinggi akan menyebabkan gangguan tidur, lekas marah, cemas dan sakit kepala
3. Puasa dan terlambat makan
Puasa dapat mencetuskan terjadinya migren oleh karena saat puasa terjadi pelepasan hormon yang berhubungan dengan stress dan penurunan kadar gula darah. Hal ini menyebabkan penderita migren tidak dianjurkan untuk berpuasa dalam jangka waktu yang lama.
4. Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buah-buahan.
Cokelat dilaporkan sebagai salah satu penyebab terjadinya migren, namun hal ini dibantah oleh beberapa studi lainnya yang mengatakan tidak ada hubungan antara cokelat dan sakit kepala migren. Anggur merah dipercaya sebagai pencetus terjadinya migren, namun belum ada cukup bukti yang mengatakan bahwa anggur putih juga bisa menyebabkan migren. Tiramin (bahan kimia yang terdapat dalam keju, anggur, bir, sosis, dan acar) dapat mencetuskan terjadinya migren, tetapi tidak terdapat bukti jika mengkonsumsi tiramin dalam jumlah kecil akan menurunkan frekuensi serangan migren. Penyedap masakan atau MSG dilaporkan dapat menyebabkan sakit kepala, kemerahan pada wajah, berkeringat dan berdebar debar jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar pada saat perut kosong. Fenomena ini biasa disebut Chinese restaurant syndrome. Aspartam atau pemanis buatan yang banyak dijumpai pada minuman diet dan makanan ringan, dapat menjadi pencetus migren bila dimakan dalam jumlah besar dan jangka waktu yang lama.
5. Cahaya kilat atau berkelip.
Cahaya yang terlalu terang dan intensitas perangsangan visual yang terlalu tinggi akan menyebabkan sakit kepala pada manusia normal. Mekanisme ini juga berlaku untuk penderita migren yang memiliki kepekaan cahaya yang lebih tinggi daripada manusia normal. Sinar matahari, televisi dan lampu disko dilaporkan sebagai sumber cahaya yang menjadi faktor pencetus migren.6. Psikis baik pada peristiwa duka ataupun pada peristiwa bahagia (stress)
7. Banyak tidur atau kurang tidur
Gangguan mekanisme tidur seperti tidur terlalu lama, kurang tidur, sering terjaga tengah malam, sangat erat hubungannya dengan migren dan sakit kepala tegang, sehingga perbaikan dari mekanisme tidur ini akan sangat membantu untuk mengurangi frekuensi timbulnya migren. Tidur yang baik juga dilaporkan dapat memperpendek durasi serangan migren.
8. Faktor herediter
9. Faktor kepribadian

II. 4 GEJALA DAN TANDA
1. Jenis nyeri kepala berdenyut-denyut adalah khas untuk menunjukan nyeri kepala vaskuler, selain itu terasa tertusuk-tusuk atau kepala mau pecah.
2. Migren merupakan nyeri kepala episodik berlangsung selama 5 – 20 jam tetapi tidak lebih dari 72 jam.3. Puncak nyeri 1-2 jam setelah awitan dan berlangsung 6 – 36 jam.
4. Waktu terjadinya migren dapat muncul sewaktu-waktu baik siang maupun malam, tetapi sering kali mulai pada pagi hari.
5. Lokasi migren sering bersifat unilateral (satu sisi) biasanya pada daerah frontal, temporal, namun suatu saat dapat menyeluruh.
6. Nyeri berdenyut dari migren sering ditutupi oleh perasaan nyeri yang bersifat terus menerus.
7. Gejala yang menyertai migren adalaho Mual, muntah, dan anoreksia.
o Gejala visual baik yang positif dan negatif.
o Gejala hemiferik.
1. Hemiparesis
2. Parestesia
3. Gangguan berbahasa.
4. Gangguan batang otak:
1. Vertigo
2. Disartria3. Ataksia4. Diplopia
5. Kuandriparesis
8. Aktivitas bekerja memperberat terjadinya migren.
9. Migren mereda apabila dipakai untuk istirahat, menghindari cahaya dan tidur.
Migren merupakan suatu penyakit kronis, bukan sekedar sakit kepala. Secara umum terdapat 4 fase gejala, meskipun tak semua penderita migren mengalami keempat fase ini. Keempat fase tersebut adalah : fase prodromal, aura, serangan, dan postdromal.

A. Fase Prodromal
Fase ini terdiri dari kumpulan gejala samar / tidak jelas, yang dapat mendahului serangan migren. Fase ini dapat berlangsung selama beberapa jam, bahkan dapat 1-2 hari sebelum serangan. Gejalanya antara lain:
o Psikologis : depresi, hiperaktivitas, euforia (rasa gembira yang berlebihan), banyak bicara (talkativeness), sensitif / iritabel, gelisah, rasa mengantuk atau malas.
o Neurologis : sensitif terhadap cahaya dan/atau bunyi (fotofobia & fonofobia), sulit berkonsentrasi, menguap berlebihan, sensitif terhadap bau (hiperosmia)
o Umum : kaku leher, mual, diare atau konstipasi, mengidam atau nafsu makan meningkat, merasa dingin, haus, merasa lamban, sering buang air kecil.

B. Aura

Umumnya gejala aura dirasakan mendahului serangan migren. Secara visual, aura dinyatakan dalam bentuk positif atau negatif. Penderita migren dapat mengalami kedua jenis aura secara bersamaan.Aura positif tampak seperti cahaya berkilauan, seperti suatu bentuk berpendar yang menutupi tepi lapangan pengelihatan. Fenomena ini disebut juga sebagai scintillating scotoma (scotoma = defek lapang pandang). Skotoma ini dapat membesar dan akhirnya menutupi seluruh lapang pandang. Aura positif dapat pula berbentuk seperti garis-garis zig-zag, atau bintang-bintang.
Aura negatif tampak seperti lubang gelap/hitam atau bintik-bintik hitam yang menutupi lapangan pengelihatannya. Dapat pula berbentuk seperti tunnel vision; dimana lapang pandang daerah kedua sisi menjadi gelap atau tertutup, sehingga lapang pandang terfokus hanya pada bagian tengah (seolah-seolah melihat melalui lorong).

Beberapa gejala neurologis dapat muncul bersamaan dengan timbulnya aura. Gejala-gejala ini umumnya: gangguan bicara; kesemutan; rasa baal; rasa lemah pada lengan dan tungkai bawah; gangguan persepsi penglihatan seperti distorsi terhadap ruang; dan kebingungan (confusion).
C. Fase Serangan
Tanpa pengobatan, serangan migren umumnya berlangsung antara 4-72 jam. Migren yang disertai aura disebut sebagai migren klasik. Sedangkan migren tanpa disertai aura merupakan migren umum (common migraine). Gejala-gejala yang umum adalah:
1. Nyeri kepala satu sisi yang terasa seperti berdenyut-denyut atau ditusuk-tusuk. Nyeri kadang-kadang dapat menyebar sampai terasa di seluruh bagian kepala
2. Nyeri kepala bertambah berat bila melakukan aktivitas
3. Mual, kadang disertai muntah
4. Gejala gangguan pengelihatan dapat terjadi
5. Wajah dapat terasa seperti baal / kebal, atau semutan
6. Sangat sensitif terhadap cahaya dan bunyi (fotofobia dan fonofobia)
7. Wajah umumnya terlihat pucat, dan badan terasa dingin
8. Terdapat paling tidak 1 gejala aura (pada migren klasik), yang berkembang secara bertahap selama lebih dari 4 menit. Nyeri kepala dapat terjadi sebelum gejala aura atau pada saat yang bersamaan.

D. Fase Postdromal
Setelah serangan migren, umumnya terjadi masa prodromal, dimana pasien dapat merasa kelelahan (exhausted) dan perasaan seperti berkabut.
II. 5 PATOFISIOLOGI
Dulu migren oleh Wolff disangka sebagai kelainan pembuluh darah (teori vaskular). Sekarang diperkirakan kelainan primer di otak. Sedangkan kelainan di pembuluh darah sekunder. Ini didasarkan atas tiga percobaan binatang2:1. Penekanan aktivitas sel neuron otak yang menjalar dan meluas (spreading depression dari Leao)
Teori depresi yang meluas Leao (1944), dapat menerangkan tumbuhnya aura pada migren klasik. Leao pertama melakukan percobaan pada kelinci. Ia menemukan bahwa depresi yang meluas timbul akibat reaksi terhadap macam rangsangan lokal pada jaringan korteks otak. Depresi yang meluas ini adalah gelombang yang menjalar akibat penekanan aktivitas sel neuron otak spontan. Perjalanan dan meluasnya gelombang sama dengan yang terjadi waktu kita melempar batu ke dalam air. Kecepatan perjalanannya diperkirakan 2-5 mm per menit dan didahului oleh fase rangsangan sel neuron otak yang berlangsung cepat. Jadi sama dengan perjalanan aura pada migren klasik.
Percobaan ini ditunjang oleh penemuan Oleson, Larsen dan Lauritzen (1981). dengan pengukuran aliran darah otak regional pada penderita-penderita migren klasik. Pada waktu serangan migren klasik, mereka menemukan penurunan aliran darah pada bagian belakang otak yang meluas ke depan dengan kecepatan yang sama seperti pada depresi yang meluas. Mereka mengambil kesimpulan bahwa penurunan aliran darah otak regional yang meluas ke depan adalah akibat dari depresi yang meluas.
Terdapat persamaan antara percobaan binatang oleh Leao dan migren klinikal, akan tetapi terdapat juga perbedaan yang penting, misalnya tak ada fase vasodilatasi pada pengamatan pada manusia, dan aliran darah yang berkurang berlangsung terus setelah gejala aura. Meskipun demikian, eksperimen perubahan aliran darah memberi kesan bahwa manifestasi migren terletak primer di otak dan kelainan vaskular adalah sekunder.


2. Sistem trigemino-vaskular
Pembuluh darah otak dipersarafi oleh serat-serat saraf yang mengandung. substansi P (SP), neurokinin-A (NKA) dan calcitonin-gene related peptid (CGRP). Semua ini berasal dari ganglion nervus trigeminus sesisi SP, NKA. dan CGRP menimbulkan pelebaran pembuluh darah arteri otak. Selain ltu, rangsangan oleh serotonin (5hydroxytryptamine) pada ujung-ujung saraf perivaskular menyebabkan rasa nyeri dan pelebaran pembuluh darah sesisi.
Seperti diketahui, waktu serangan migren kadar serotonin dalam plasma meningkat. Dulu kita mengira bahwa serotoninlah yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah pada fase aura. Pemikiran sekarang mengatakan bahwa serotonin bekerja melalui sistem trigemino-vaskular yang menyebabkan rasa nyeri kepala dan pelebaran pembuluh darah. Obat-obat anti-serotonin misalnva cyproheptadine (Periactin®) dan pizotifen (Sandomigran®, Mosegor®) bekerja pada sistem ini untuk mencegah migren.

3. lnti-inti syaraf di batang otak

Inti-inti saraf di batang otak misalnya di rafe dan lokus seruleus mempunyai hubungan dengan reseptor-reseptor serotonin dan noradrenalin. Juga dengan pembuluh darah otak yang letaknya lebih tinggi dan sumsum tulang daerah leher yang letaknya lebih rendah. Rangsangan pada inti-inti ini menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak sesisi dan vasodilatasi pembuluh darah di luar otak. Selain itu terdapat penekanan reseptor-reseptor nyeri yang letaknya lebih rendah di sumsum tulang daerah leher. Teori ini menerangkan vasokonstriksi pembuluh darah di dalam otak dan vasodilatasi pembuluh darah di luar otak, misalnya di pelipis yang melebar dan berdenyut.


Faktor pencetus timbulnya migren dapat dibagi dalam faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik, misalnya ketegangan jiwa (stress), baik emosional maupun fisik atau setelah istirahat dari ketegangan, makanan tertentu, misalnya buah jeruk, pisang, coklat, keju, minuman yang mengandung alkohol, sosis yang ada bahan pengawetnya. Lain-lain faktor pencetus seperti hawa terlalu panas, terik matahari, lingkungan kerja yang tak menyenangkan, bau atau suara yang tak menyenangkan. Faktor intrinsik, misalnya perubahan hormonal pada wanita yang nyeri kepalanya berhubungan dengan hari tertentu siklus haid. Dikatakan bahwa migren menstruasi ini jarang terdapat, hanya didapatkan pada 3 dari 600-700 penderita. Pemberian pil KB dan waktu menopause sering mempengaruhi serangan migren.
Mual dan muntah mungkin disebabkan oleh kerja dopamin atau serotonin pada pusat muntah di batang otak (chemoreseptor trigger zone/ CTZ). Sedangkan pacuan pada hipotalamus akan menimbulkan fotofobia. Proyeksi/pacuan dari LC ke korteks serebri dapat mengakibatkan oligemia kortikal dan mungkin menyebabkan penekanan aliran darah, sehingga timbulah aura7.
Pencetus (trigger) migren berasal dari:
1. Korteks serebri: sebagai respon terhadap emosi atau stress,
2. Talamus: sebagai respon terhadap stimulasi afferen yang berlebihan: cahaya yang menyilaukan, suara bising, makanan,
3. Bau-bau yang tajam,
4. Hipotalamus sebagai respon terhadap 'jam internal" atau perubahan "lingkungan" internal (perubahan hormonal),
5. Sirkulasi karotis interna atau karotis eksterna: sebagai respon terhadap vasodilator, atau angiografi.


II. 6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Banyak dokter yang meminta suatu serial pemeriksaan darah untuk pemeriksaan penyakit kelenjar gondok, anemia atau infeksi yang dapat menyebabkan sakit kepala. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan sken otak seperti computed tomographic scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) untuk menepis gangguan otak yang serius. Jika dicurigai adanya aneurisma pembuluh darah otak, perlu dilakukan pemeriksaan angiogram.
Untuk mendiagnosis migren tidak selalu mudah, terutama pada pasien-pasien yang memiliki gejala yang tidak jelas. Elektroensefalogram (EEG) dilakukan untuk mengukur aktivitas kerja otak. EEG ini dapat mengidentifikasi suatu malfungsi saraf otak, tetapi tidak dapat menunjukkan secara tepat masalah yang menyebabkan suatu sakit kepala.
Termografi, suatu teknik percobaan yang sedang dikembangkan untuk mendiagnosis sakit kepala dan menjanjikan untuk menjadi alat klinis yang berguna dikemudian hari. Pada termografi, sebuah kamera infra merah akan mengubah temperatur kulit menjadi suatu gambar yang berwarna atau suatu termogram dengan berbagai warna yang berbeda sebagai akibat tingkat pemanasan yang berbeda.
Temperatur kulit ini dipengaruhi oleh aliran darah. Para saintis menemukan termogram pada pasien-pasien yang menderita sakit kepala menunjukkan pola panas yang berbeda sangat menyolok dari mereka yang tidak pernah atau jarang mengalami sakit kepala.

II. 7 DIAGNOSIS
Tidak ada pemeriksaan khusus untuk mendiagnosis migren. Untuk menentukan sakit kepala yang diklasifikasikan sebagai migren adalah setelah dilakukan pencatatan riwayat penyakit (anamnesis) dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Dokter akan menanyakan penderita mengenai gejala-gejala yang dialaminya. Misalnya berapa sering sakit kepala terjadi, lokasi nyeri kepala, lamanya dan gejala lainnya yang timbul sebelum, selama atau setelah sakit kepala tersebut.
Perlu suatu catatan harian yang mencatat karakteristik dari sakit kepala tersebut yang dihubungkan dengan gaya hidup, diet, menstruasi dan penggunaan obat.

BAB III

III. 1 PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas mengurangi faktor resiko, terapi farmaka dengan memakai obat dan terapi nonfarmaka. Terapi farmaka dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi preventif (terapi pencegahan), walau pada terapi nonfarmaka juga dapat bertujuan untuk abortif dan pencegahan. Terapi abortif merupakan pengobatan pada saat serangan akut yang bertujuan untuk meredakan serangan nyeri dan disabilitas pada saat itu dan menghentikan progresivitas. Pada terapi preventif atau profilaksis migrain terutama bertujuan untuk mengurangi frekwensi, durasi dan beratnya nyeri kepala.1,4
1. Mengurangi faktor risiko/pencetus
- Stres dan kecemasan
- Kurang atau telalu banyak tidur, perubahan jadwal seperti jetlag.
- Hipoglikemia (terlambat makan)
- Kelelahan
- Perubahan hormonal seperti haid, obat hormonal
Kadar estrogen yang berfluktuasi  dapat dilakukan dengan menghentikan pil KB atau obat-obat pengganti estrogen
- Diet
• Menghindari makanan tertentu cukup membantu pada 25-30% penderita migrain. Secara umum, makanan yang harus dihindari adalah: MSG, beberapa minuman beralkohol (anggur merah, prot, sherry, scotch, bourbon), keju (Colby, Roquefort, Brie, Gruyere, cheddar, bleu, mozzarella, Parmesan, Boursault, Romano), coklat, dan aspartame.
• Diet dilakukan selama 1 bulan. Apabila setelah 1 bulan gejala tidak membaik, berarti modifikasi diet tidak bermanfaat. Apabila makanan menjadi pencetus gejala, maka jenis makanan tersebut harus diidentifikasi dengan cara menambahkan satu jenis makanan sampai gejala muncul. Sebaiknya dibuat diari makanan selama mengidentifikasi makanan apa yang menjadi pencetus migrain, karena beberapa jenis makanan dapat langsung menimbulkan gejala (anggur merah, MSG), sementara makanan lain baru menimbulkan gejala setelah 1 hari (coklat, keju).2
2. Terapi farmaka migrain
Terapi Abortif
Pada terapi abortif dapat diberikan analgesia nonspesifik yaitu analgesia yang dapat diberikan pada kasus nyeri lain selain nyeri kepala, dan atau analgesia spesifik yang hanya bekerja sebagai analgesia nyeri kepala. Secara umum dapat dikatakan bahwa terapi memakai analgesia nonspesifik masih dapat menolong pada migrain dengan intensitas nyeri ringan sampai sedang. Pada kasus sedang sampai berat atau berespons buruk dengan OAINS pemberian analgesia spesifik lebih bermanfaat.
Domperidon atau metoklopramid sebagai antiemetik dapat diberikan saat serangan nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal. Fase prodromal migrain dihubungkan dengan gangguan pada hipotalamus melalui neurotransmiter dopamin dan serotonin. Pemberian antiemetik akan membantu penyerapan lambung di samping meredakan gejala penyerta seperti mual dan muntah. Kemungkinan timbulnya efek samping antiemetik seperti sedasi dan parkinsonism pada orang tua patut diperhatikan.
Analgesik nonspesifik
Yang termasuk analgesia nonspesifik adalah asetaminofen (parasetamol), aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Pada umumnya pemberian analgesia opioid dihindari. Beberapa obat OAINS yang telah diteliti diberikan pada migrain antara lain adalah:
- Diklofenak.
- Ketorolak.
- Ketoprofen.
- Indometasin.
- Ibuprofen.
- Naproksen.
- Golongan fenamat.
Ketorolak IM membantu pasien dengan mual atau muntah yang berat. Kombinasi antara asetaminofen dengan aspirin atau OAINS serta penambahan kafein dikatakan dapat menambah efek analgetik, dan dengan dosis masing-masing obat yang lebih rendah diharapkan akan mengurangi efek samping obat. Mekanisme kerja OAINS pada umumnya terutama menghambat enzim siklooksigenase sehingga sintesa prostaglandin dihambat.1
Pasien diminta meminum obatnya begitu serangan migrain terasa. Dosis obat harus adekuat baik secara obat tunggal atau kombinasi. Apabila satu OAINS tidak efektif dapat dicoba OAINS yang lain. Efek samping pemberian OAINS perlu dipahami untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pada wanita hamil hindari pemberian OAINS setelah minggu ke 32 kehamilan. Pada migrain anak dapat diberikan asetaminofen atau ibuprofen.

Analgesik spesifik
Yang termasuk analgesik spesifik yang sering digunakan adalah ergotamin, dihidroergotamin (DHE) dan golongan triptan yang merupakan agonis selektif reseptor serotonin pada 5-HT1, terutama mengaktivasi reseptor 5HT I B / 1 D. Di samping itu ergotamin dan DHE juga berikatan dengan reseptor 5-HT2, α1dan α 2- nonadrenergik dan dopamin.1
Analgesik spesifik dapat diberikan pada migrain dengan nyeri sedang sampai berat. Pertimbangan harga kadang menjadi penghambat dipakainya analgesia spesifik ini, walaupun golongan ini merupakan pilihan sebagai antimigren. Ergot lebih murah dibanding golongan triptan tetapi efek sampingnya lebih besar. Penyebab lain yang menjadi penghambat adalah preparat ini di Indonesia hanya tersedia dalam bentuk oral dan dari golongan triptan hanya ada sumatriptan. Ergotamin dan DHE diberikan pada migrain sedang sampai berat apabila analgesia nonspesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping. Dosis dan cara pemberian ergotamin dan DHE harus diperhatikan. Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin selain sebagai analgesik pula. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler, kardiovaskuler dan penyakit pembuluh perifer (hati-hati pada pasien > 40 tahun) serta gagal ginjal, gagal hati dan sepsis. Efek samping yang mungkin timbul antara lain mual, dizziness, parestesia, kramp abdominal. Ergotamin biasanya diberikan pada episode serangan tunggal. Dosis dibatasi tidak melebihi 10 mg/minggu.1
Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotofobia dan fonofobia sehingga memperbaiki disabilitas pasien. Diberikan pada migrain berat atau pasien yang tidak memberikan respon dengan analgesia nonspesifik dengan atau tanpa kombinasi. Dosis awal sumatriptan adalah 50 mg dengan dosis maksimal dalam 24 jam 200 mg. Kontra indikasi antara lain adalah pasien, yang berisiko penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, hipertensi yang tidak terkontrol, migrain tipe basiler. Efek samping berupa dizziness, heaviness, mengantuk, nyeri dada non kardial, disforia.
Golongan triptan generasi kedua (zolmitriptan, eletriptan, naratriptan, rizatriptan) yang tidak ada di Indonesia sebenarnya mempunyai respons yang lebih baik, rekurensi nyeri kepala yang lebih rendah dan lebih dapat ditoleransi.

Nama obat CaraPemberian
Sumatriptan 6 mg SC
Rizatriptan 10 mg oral
Eletriptan 80 mg oral
Zolmitriptan 5 mg oral
Eletriptan 40 mg oral
Sumatriptan 20 mg intranasal
Sumatriptan 100mg oral
Rizatriptan 2,5 mg oral
Zolmitriptan 2,5 mg oral
Sumatriptan 50 mg oral
Naratriptan 2,5 mg oral
Eletriptan 20 mg oral ….
Tabel 1. Analgesik triptan pada migraine

III. 2 TERAPI PROFILAKSIS
Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau tidak. Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek (subakut) atau jangka panjang (kronis). Terapi episodik diberikan apabila faktor pencetus nyeri kepala dikenal dengan baik sehingga dapat diberikan analgesia sebelumnya. Terapi preventif jangka pendek berguna apabila pasien akan terkena faktor risiko yang telah dikenal dalam jangka waktu tertentu seperti pada migrain menstrual. Terapi preventif kronis akan diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung respons pasien. Biasanya diambil patokan minimal dua sampai tiga bulan.
- Indikasi:
•Penyakit kambuh beberapa kali dalam sebulan
•Penyakit berlangsung terus menerus selama beberapa minggu atau bulan
•Penyakit sangat mengganggu kuafitas/gaya hidup penderita.
•Adanya kontra indikasi atau efek samping yang tidak dapat ditoleransi terhadap terapi abortif.
•Kecenderungan pemakaian obat yang berlebih pada terapi abortif.
- Terapi profilaksis lini pertama: calcium channel blocker (verapamil), antidepresan trisiklik (nortriptyline), dan beta blocker (propanolol)
- Terapi profilaksis lini kedua: methysergide, asam valproat, asetazolamid.
- Mekanisme kerja obat-obat tersebut tidak seluruhnya dimengerti. Diduga obat tersebut menghambat pelepasan neuropeptida ke dalam pembuluh darah dural melalui efek antagonis pada reseptor 5-HT2. Satu jenis obat profilaksis tidak lebih efektif daripada obat yang lain. oleh karena itu, bila tidak ada kontraindikasi, verapamil lebih sering digunakan pada awal terapi karena efek sampingnya paling minimal dibandingkan yang lain.
- Apabila dizziness tidak dapat dikontrol dengan satu obat, gunakan jenis obat yang lain. Bila dizziness sudah terkontrol, obat diberikan terus menerus selama minimal 1 tahun (kecuali methysergide yang memerlukan interval bebas obat selama 3-4 minggu pada bulan ke-6 terapi). Obat dapat diberikan ulang pada tahun berikutnya apabila dizziness muncul lagi setelah terapi dihentikan.
Nama obat ____Dosis____
Propranolol 40-240 mg/hari
Nadolol 20-160 mg/ hari
Metoprolol 50-100 mg/ hari
Timolol 20-60 mg/ hari
Atenolol 50-100 mg/ hari
Amitriptilin 10-200 mg/ hari
Nortriptilin 10-150 mg/ hari
Fluoksetin 10-80 mg/ hari
Mirtazapin 15-45 mg/ hari
Valproat 500-1500 mg/ hari
Topiramat 50-200 mg/ hari
Gabapentin 900-3600 mg/ hari
Verapamil 80-640 mg/hari
Flunarizin 5-1 0 mg/hari
Nimodipin 30-60 mg qid___
Tabel 2. Terapi farmaka pencegahan migrain

Terapi nonfarmaka
Walaupun terapi farmaka merupakan terapi utama migren, terapi nonfarmaka tidak bisa dilupakan. Pada kehamilan terapi nonfarmaka bahkan diutamakan. Terapi nonfarmaka dimulai dengan edukasi dan menenangkan pasien (reassurance). Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi sensoris berlebihan. Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan dikompres dingin. Menghindari faktor pencetus mungkin merupakan terapi pencegahan yang murah.
Intervensi terapi perilaku (behaviour) sangat berperan dalam mengatasi nyeri kepala yang meliputi terapi cognitive-behaviour, terapi relaksasi serta terapi biofeedback dengan memakai alat elektromiografi atau memakai suhu kulit atau pulsasi arteri temporalis. Olahraga terarah yang teratur dan meningkat secara bertahap umumnya sangat membantu. Beberapa penulis mengusulkan terapi alternatif lain seperti meditasi, hipnosis, akupunktur dan fitofarmaka. Pada migrain menstrual dapat dianjurkan mengurangi garam dan retensi cairan.

KESIMPULAN

1. Migren merupakan nyeri kepala primer dengan serangan nyeri kepala berulang, dengan karakteristik lokasi unilateral, berdenyut dan frekuensi, lama serta hebatnya rasa nyeri yang beraneka ragam dan diperberat dengan aktifitas.
2. Klasifikasi migrain menurut International Headache Society (HIS):
- Migrain tanpa aura (common migraine)
- Migrain dengan aura (classic migraine)
- Migraine with prolonged aura
- Basilar migraine (menggantikan basilar artery migraine)
- Migraine aura without headache (menggantikan migraine equivalent atau achepalic migraine)
- Benign paroxysmal vertigo of childhood
- Migrainous infraction (menggantikan complicated migraine)
- Migren hemiplegic familial
- Migren oftalmoplegik
- Migren retinal
- Migren yang berhubungan dengan gangguan intrakranial
3. Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas:
a. Mengurangi faktor resiko,
b. Terapi farmaka dengan memakai obat.
c. Terapi nonfarmaka.
Terapi farmaka dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi preventif (terapi pencegahan). Walaupun terapi farmaka merupakan terapi utama migren, terapi nonfarmaka tidak bisa dilupakan. Bahkan pada kehamilan terapi nonfarmaka diutamakan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadeli H. A. 2006. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya.
2. Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajahmada University Press. Yogyakarta.
3. Dahlem M., Podoll K. 2007. Migraine Headache. http://www.migraine-aura.com/content/e27892/index_en.html
4. Purnomo H. 2006. Migrainous Vertigo. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya.
5. Benson AG, Robbins W. 2006. Migraine Associated Vertigo. http.www.emedicine.com/ent/topic727.htm
6. Zuraini, Yuneldi anwar, Hasan Sjahrir. 2005. Karakteristik Nyeri Kepala Migren dan Tension Type Headeche Di Kotamadya Medan, Neurona, Vol 22 No. 2
7. Wibowo S., Gofir A. 2001. Farmakologi dalam Neurologi. Salemba Medika. Jakarta.

PENYAKIT PARKINSON




PENYAKIT PARKINSON

Penyakit Parkinson adalah penyakit yang disebabkan adanya gangguan pada otak, yaitu pada sistem saraf pusat otak manusia mengalami kemunduran. Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter inggris yang bernama James Parkinson pada tahun 1887. Penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan pergerakan.1
Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan wanita seimbang. 5 – 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun. Secara keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia dan 1,6 % di Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun sampai 3,5 % pada usia 85 – 89 tahun.2

Gejala Penyakit Parkinson
Gejala pada penyakit ini antara lain:3
1. Gemetaran.
Seseorang penderita penyakit parkinson pada saat beristirahat atau tidak melakukan aktivitas akan mengalami gemetaran. Gemetaran yang timbul dapat terjadi pada tangan, kaki, rahang, atau kapala.
2. Kekakuan.
Penderita akan mengalami rasa kaku pada otot, rasa sakit pada bahu, leher, dan sendi-sendi sehingga sulit untuk bergerak.
3. Hilangnya reflek postural.
Penderita akan mengalami ganguan keseimbangan tubuh.
4. Kebekuan.
Gejala ini mengacu terhadap ketidakmampuan untuk melakukan pergerakan yang aktif. Ketika akan berjalan, memutar, berjalan melalui jalan yang sempit penderita akan sulit utuk melakukannya.
5. Gejala nonmotor (tidak berhubungan dengan pergerakan).
Gejala ini juga timbul pada penderita penyakit parkinson antar lain penderita merasakan sakit seperti terbakar, perasaan geli, hilangnya motivasi, susah tidur, ataupun merasakan tekanan. Kebanyakan gejala ini akan memperparah penderita penyakit parkinson.

Penemuan Kilinis
Dari penemuan klinis, penderita penyakit parkinson mempunyai raut muka yang relatif tidak bergerak dengan celah pada kelopak mata melebar, jarang berkedip, dan terdapat guratan expresi tertentu pada wajah, keluar minyak (seborrhea) di kulit kepala dan muka, gemetaran di bibir dan mulut. Penemuan klinis lain dari penyakit ini adalah keluarnya air liur dari mulut, kekakuan pada otot tenggorokan sehingga sulit untuk menelan, sulit untuk bangun dari tempat duduk ketika akan berjalan, dan ketika berjalan akan berjalan dengan terseok-seok.4

Penyebab Penyakit Parkinson
Penyakit parkinson terjadi ketika sel saraf atau neuron di dalam otak yang disebut substantia nigra mati atau menjadi lemah. Secara normal sel ini menghasilkan bahan kimia yang penting di dalam otak yang disebut dopamine. Dopamine adalah suatu bahan kimia yang dapat menghantarkan sinyal-sinyal listrik diantara substantia nigra dan di sepanjang jalur sel saraf yang akan membantu menghasilkan gerakan tubuh yang halus. Ketika kira-kira 80% sel yang memproduksi dopamine rusak, gejala penyakit parkinson akan nampak.1

Diagnosa Penyakit Parkinson
Diagnosa penyakit parkinson didasarkan dengan pengambilan data-data riwayat pasien secara hati-hati dan dengan pemeriksaan fisik pasien yang dikaitkan dengan gejala-gejalanya. Hingga saat ini belum ditemukan test laboratorium atau alat pencitraan yang dapat mengkonfirmasi penyakit parkinson. Pencitraan resonansi magnetik atau yang dikenal dengan MRI mungkin menunjukan kondisi lain yang mempunyai gejala serupa dengan penyakit parkinson.5 Oleh karena itu pasien yang mempunyai gejala-gelaja serupa disarankan utuk mencari seorang ahli saraf pada penyakit parkinson.

Perawatan Penyakit Parkinson
Perawatan pada penderita penyakit parkinson bertujuan untuk memperlambat dan menghambat perkembangan dari penyakit itu. Perawatan ini dapat dilakukan dengan pemberian obat dan terapi fisik seperti terapi berjalan, terapi suara/berbicara dan pasien diharapkan tetap melakukan kegiatan sehari-hari.
Beberapa obat yang diberikan pada penderita penyakit parkinson:6
1. Anticholinergics
Benztropine ( Cogentin), trihexyphenidyl ( Artane).
Berguna untuk mengendalikan gejala dari penyakit parkinson. Untuk mengaluskan pergerakan.
2. Carbidopa/levodopa
Levodopa merupakan pengobatan utama untuk penyakit parkinson. Di dalam otak levodopa dirubah menjadi dopamine. Obat ini mengurangi tremor, kekakuan otot dan memperbaiki gerakan. Penderita penyakit parkinson ringan bisa kembali menjalani aktivitasnya secara normal. Levodopa diberikan bersamacarbidopa untuk meningkatkan efektivitasnya & mengurangi efek sampingnya.
3. COMT inhibitors
Entacapone (Comtan), Tolcapone (Tasmar).
Untuk mengontrol fluktuasi motor pada pasien yang menggunakan obat levodopa.
4. Dopamine agonists
Bromocriptine (Parlodel), Pergolide (Permax), Pramipexole (Mirapex),
Obat ini di berikan pada awal pengobatan, dan sering kali ditambahkan pada pemberian levodopa untuk meningkatkan kerja levodopa atau diberikan kemudian ketika efek samping levodopa menimbulkan masalah baru.
5. MAO-B inhibitors
Selegiline (Eldepryl), Rasagaline (Azilect).
Berguna untuk mengendalikan gejala dari penyakit parkinson. Untuk mengaluskan pergerakan.
6. Amantadine (Symmetrel)
Berguna untuk perawatan akinesia, dyskinesia, kekakuan, gemetaran.
Selain terapi obat yang diberikan, pemberian makanan harus benar-benar diperhatikan, karena kekakuan otot bisa menyebabkan penderita mengalami kesulitan untuk menelan sehingga bisa terjadi kekurangan gizi (malnutrisi) pada penderita. Makanan berserat akan membantu mengurangi ganguan pencernakan yang disebabkan kurangnya aktivitas, cairan dan beberapa obat.

Daftar Pustaka
1. John G. Nutt, M.D., and G. Frederick Wooten, M.D., “Diagnosis and Initial Management of Parkinson's Disease”, http://content.nejm.org/cgi/content/full/353/10/1021, 8 September 2005.
2. Sobha S. Rao, M.D., Laura A. Hofmann, M.D., and Amer Shakil, M.D., “Parkinson’s Disease: Diagnosis and Treatment”, http://www.aafp.org/afp/20061215/2046.html, 15 Desember 2006.
3. Wooten GF, Currie LJ, Bovbjerg VE, Lee JK, Patrie J. Are men at greater risk for Parkinson's disease than women? J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004;75:637-639.
4. Gelb DJ, Oliver G, Gilman S. Diagnostic criteria for Parkinson's disease. Arch Neurol 1999;56:33-39

MOTOR NEURON DISEASE

ABSTRAK
Motor Neuron Disease (MND) adalah suatu penyakit mematikan yang sudah dikenal sejak abad ke-19. Penyakit ini unik karena ditemukannya tanda-tanda Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower Motor Neuron (LMN) secara bersamaan pada seorang penderita. Karena relatif jarang ditemukan , sering seorang dokter luput mendeteksi gejala-gejala penyakit ini bahkan banyak yang mendiagnosanya sebagai stroke.
Pada MND dijumpai adanya degenerasi progresif yang khas dari medulla spinalis, batang otak dan 1korteks serebri. Gejala klinisnya bervariasi dengan gambaran khas berupa disfungsi safar tipe UMN maupun LMN. Penyebab pastinya belum diketahui. Berbagai macam obat telah dicoba dan diteliti, tetapi sampai saat ini tidak ada satupun yang efektif.
Kata kunci: MND, ALS, UMN, LMN, anterior horn cells, amiotrofi, riluzole.

PENDAHULUAN
Kelemahan otot progresif telah dikenali sejak awal abad ke-19 oleh Sir Charles Bell, Marshall Hall dan Todd. Aran (1850) menggunakan istilah progressive muscular atrophy (PMA) 1,2,3,4. Duchene (1849) juga telah menggambarkan penyakit dengan gejala yang serupa. Bell berpendapat bahwa atrofi otot progresif ini terjadi sebagai akibat kelainan mielopatik sedangkan Aran dan Duchene menyatakan akibat kelainan miopatik. Charcot (1869) menggunakan istilah la sclerose laterale amyotropique atau Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) yang mencakup sindrom klinis berupa atrofi otot progresif , fasikulasi dan kontraksi spasmodik permanen 1,2,3,5,6. Istilah amiotrofi digunakan untuk menunjukkan kelemahan otot dan atrofi
yang terjadi sebgai akibat denervasi1. Duchene (1869) menggambarkanprogressive
bulbar palsy (PBP) 1,2,3.
Istilah 'motor neuron disease' (MND) diperkenalkan oleh Brain (1962) setelah melihat adanya hubungan antara PMA , ALS dan PBP yang dilihat dari variasi klinis terlibatnya upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN) serta dari topografi rusaknya anterior horn cells dan kelemahan otot 3 .Di Inggris, ALS adalah bagian dari MND sedangkan di Amerika Serikat dan negara-negara yang berbahasa Perancis, istilah ALS lebih lazim dipakai sebagai nama lain dari MND 1,3
KLASIFIKASI
Motor Neuron Disease digolongkan atas : 3
1. Amyotrophic Lateral Sclerosis (80%)
2. Progressive bulbar palsy (10%).
3. Progressive muscular atrophy (8%)
4. Primary lateral sclerosis (2%)
5. Juvenile MND.
6. Monomelic MND.
7. Familial MND.
Beberapa bentuk MND atipikal dengan insidens familial yang tinggi telah ditemukan, yaitu ALS familial, ALS Guamanian, ALS Semenanjung Kii di Jepang, ALS pada orang Auyu dan Jaki di New Guinea Barat dan ALS familial juvenilis 5.

EPIDEMIOLOGI
MND hanya dapat terjadi pada manusia dan melibatkan sistem piramidalisnya8 Biasanya melibatkan bagian distal dari lengan tetapi dapat juga melibatkan bagian distal dari satu atau kedua tungkai. Tangan kanan lebih sering dikenai dari tangan kiri. Diduga bahwa motor neuron yang berfungsi mengatur gerakan trampil (halus) lebih mudah mengalami degenerasi pada MND 1,8 .Pria lebih banyak dikenai dari wanita 1,6,9 .Orang kulit putih lebih sering dikenai daripada kulit hitam 9
Prevalensi MND bervariasi di berbagai tempat. Berdasarkan laporan yang ada prevalensi terendah dijumpai di Meksiko (0,8 per 100.000 penduduk) dan yang tertinggi di lnggris (7,0 per 100.000 penduduk). Prevalensi yang relatif tinggi juga dilaporkan pada suku Komoro yang hidup di Pulau Guam di Pasifik Barat, di Semenanjung. Kii (Jepang) dan di New Guinea Barat 4 .lnsidens MND juga bervariasi antara 0,1 -0,58 per 100.000 penduduk per tahun dengan rata-rata 1,36 per 100.000 penduduk per tahun 3 .Mortalitas akibat MND kira-kira 1 daTi 800 pria dan 0,5-1,1 daTi 100.000 penduduk 4,6 .
MND familial mencakup lebih kurang 5-10% dari seluruh kasus MND. Pada kebanyakan kasus MND familial pola penurunannya adalah otosomal dominan dan hanya beberapa kasus yang diturunkan secara otosomal resesif 1,4,9,10,11,12 .
Di Indonesia penelitian mengenai MND hanya sedikit dilakukan. Gajdusek (1962) pernah melaporkan bahwa di beberapa desa di Irian lara ditemukan 10-20% penduduknya mengalami atrofi otot-otot thenar dan hipothenar, yang pada pengamatan lebih lanjut temyata sebagian besar menderita MND .

PATOLOGI
MND merupakan penyakit kronis dengan karakteristik adanya degenerasi progresif dari LMN di anterior horn cells medulla spinalis dan nukleus safar kranial di batang otak, serta UMN di korteks serebri 4,6. Pada banyak kasus, otak dan medulla spinalis tetap normal secara makroskopis kecuali perubahan yang terjadi akibat proses penuaan 5. Menariknya pada sebagian kasus terlihat adanya atrofi selektif dari girus presentralis seperti yang telah digambarkan oleh Kahler dan Pick pada tahun 18795,9) .Atrofi medulla spinalis yang luas hanya ditemukan pada kasus- kasus yang kronis, tetapi sebaliknya sering juga dijumpai adanya atrofi dari akar safar spinalis anterior. Bisa juga terlihat adanya perubahan wama sklerotik dan penciutan traktus kortikospinalis lateralis. Otot-otot skeletal di bagian distal mengalami atrofi, menciut, pucat dan fibrotik 4
Adams dkk. menyatakan yang terpenting adalah rusaknya sel-sel neuron pada anterior horn medulla spinalis dan nukleus motorik di bagian bawah batang otak 1 . Neuron besar cenderung lebih terlibat dari yang kecil. Sel yang rusak ini digantikan oleh astrosit fibrous. Kebanyakan sel neuron yang bertahan menjadi mengecil, berkerut dan berisi lipofusin, kadang-kadang terlihat adanya inklusi sitoplasmik.
Secara histopatologik, gambaran utama dari MND meliputi 5 : (1). Berkurangnya motor neuron yang besar dengan astrogliosis fokal ; (2). Senescent changes; (3). Inklusi intrasitoplasmik ; (4). Aksonopati proksimal dan distal dengan sferoid aksonal ; (5) Degenerasi traktus dan (6) Degenerasi serabut motorik, motor end-plates dan atrofi otot
Berkurangnya motor neuron di korteks, batang otak dan medulla spinalis bervariasi pada tiap kasus. Berkurangnya sel-sel Betz pada korteks motorik pertama kali ditemukan oleh Charcot dan Marie pada tahun 1885 dan telah diterima sebagai gambaran patologik utama dari MND 1,5,7,11 .Mereka juga menemukan adanya degenerasi traktus kortikospinalis dari korteks motorik ke kapsula intema, pedunkulus serebri, pons, medulla oblongata dan medulla spinalis.
Penemuan mikroskopis yang paling konsisten adalah akumulasi granullipofusin pada perikarion yang mengalami atrofi. Perubahan ini sering disalah interpretasikan sebagai senescent changes karena perubahan pigmen ini khas dijumpai pada neuron khususnya neuron pada orang tua.
Dari perubahan pada neuron yang sangat bervariasi pada MND , yang paling penting adalah inklusi intrasitoplasmik berupa inklusi eosinofilik (Bunina Bodies), inklusi basofilik, inklusi hialin dan inklusi konglomerasi 5.
Mori dkk (1986) menemukan adanya ubiquitin, suatu polipeptida yang mengandung 76 buah asam amino, dan belakangan diketahui merupakan bagian dari
Lewy bodies. Traktus yang paling sering mengalami degenerasi pada penderita MND adalah traktus kortikospinalis 5,7 .Luasnya degenerasi tidak selalu berhubungan dengan gejala klinisnya. Degenerasi bisa terjadi asimetris dan bisa mengenai kolumna anterolateral, kolumna spinoserebellar dan Clarke, kolumna posterior atau basal ganglia.
Setelah demonstrasi adanya degenerasi traktus piramidalis pada MND oleh Charcot (1874), beberapa peneliti menemukan adanya degenerasi traktus piramidalis yang meluas ke korteks serebri sampai di substansia alba subkortikal berdekatan dengan daerah asal neuron-neuron upper motor. Ditemukan juga adanya degenerasi serabut-serabut dan gliosis reaktif pada beberapa area serebrum lainnya misalnya pada talamus, globus pallidus, ansa dan fasikulus lentikularis serta hipotalamus. Dibatang otak, degenerasi inti motorik sarafotak ke 5,7,9,10,11dan 12 dijumpai pada penderita MND. Biasanya saraf otak ke 3,4 dan 6 tidak terlibat 7.
Selain hal-hat tersebut di atas, lesi pada neuron-neuron lower motor pada MND bervariasi dari atrofi dan hilangnya dendrit sampai hilangnya anterior horn cells
secara total 7 .Kebanyakan kasus MND familial mempunyai gambaran patologi yang
mirip dengan MND sporadis di mana juga dijumpai berkurangnya anterior horn cells
dan degenerasi traktus kortikospinalis 10.
Pengamatan makroskopis pada safar tepi yang mengalami atrofi pada anterior root menunjukkan adanya penurunan diameter serabut saraf. Saraf tepi lainnya menunjukkan gambaran normal atau hanya sedikit mengalami atrofi. Pada beberapa kasus ditemukan adanya kerusakan pada akson dari safar frenikus, suralis, peroneus profunda clan superfisialis serta pada akar saraf servikalis dan lumbalis bagian ventral.
Atrofi otot yang jelas telah disebutkan pada beberapa laporan awal tentang MND. Secara histologis terlihat adanya gambaran infiltrasi lemak yang khas pada sel-set otot dan gambaran atrofi akibat denervasi. Adanya atrofi serabut otot ini dihubungkan dengan kerusakan motor neuron alfa di medulla spinalis. Kadang- kadang terlihat serabut yang hipertrofik atau distrofiko Biopsi menunjukkan timbulnya 'tunas' baru dari akson serabut safar yang tersisa di dalam otot, sekunder
terhadap denervasi 7

ETlOLOGI
MND adalah penyakit mematikan dengan etiologi yang belum diketahui 1,4,6,9,10,12,13 Berapa faktor juga merupakan penyebab penyakit ini, yaitu :
1. Toksin
2. Proses penuaan dini (premature aging)
3. Defisiensi faktor trofik
4. Infeksi virus
5. Gangguan metabolisme
6. Otoimun.

GAMBARAN KLINIS
Gambaran khas dari MND adalah adanya disfungsi saraf baik tipe UMN maupun LMN 1,3,11 .Pada MND ditemukan adanya atrofi, parese dan fasikulasi dengan hiperrefleks, respon ekstensor dan pada beberapa kasus spastisitas. Gejala awal yang sering antara lain fatigue, kram otot, tungkai menyeret atau kesulitan melakukan pekerjaan dengan satu tangan. Gejala-gejala ini biasanya asimetris dan sering hanya mengenai satu anggota gerak walaupun pada saat diperiksa umumnya sudah ditemukan defisit neurologis yang lebih luas. Gejala lain termasuk atrofi otot, nyeri dan kram otot, fasikulasi dan langkah yang kaku 3
Bila kerusakan UMN relatif lebih dominan , gejala utamanya bisa berupa spastisitas, kekakuan dan klonus kaki. Keterlibatan bulbar biasanya berupa kombinasi UMN dan LMN dan menyebabkan suara serak , perubahan artikulasi dan suara sengau 3
Lidah biasanya dikenai secara simetris, gerakannya melambat, dijumpai fasikulasi dan atrofi. Bila spastisitas dan parese berlanjut bisa terjadi disfagia.
Gangguan sensoris biasanya tidak dijumpai pada MND , tetapi kadang-kadang
bisa dijumpai parestesia, perasaan dingin dan perasaan tebal (numbness) 1,3,7
Jarang dijumpai adanya gangguan miksi dan defekasi, kecuali terjadi paralise yang berat dari otot-otot skelet yang melibatkan otot-otot gluteus dan daerah sakral.
Hal ini karena nukleus Onuf yang terdapat di anterior horn safar spinal S2 dan S3 relatifr asisten terhadap denervasi yang terjadi pada MND 3,7
Fungsi otonom umurnnya normal 3,7 .Penderita MND tidak mengalami dekubitus sekalipun pada tahap lanjut karena fungsi sensorik dan regulasi otonom dari aliran darah kulit berjalan baik. Demensia bisa ditemukan pada 3-5% penderita
MND tetapi tipenya berbeda dengan dernensia tipe Alzheimer dan biasanya menunjukan demensia lobus frontalis1,3,15
Pada progressive bulbar palsy gejala awal yang menonjol adalah kelemahan dari otot-otot yang diinervasi oleh nukleus motorik di batang otak bagian bawah, misalnya otot-otot rahang, wajah, lidah faring dan laring 1,6 .Gejala klinis utamanya adalah disartria, disfonia, kesulitan mengunyah, salivasi dan disfagia. Lidah lumpuh dengan tanda-tanda atrofi dan fasikulasi yang menonjol. Kadang-kadang disertai kelumpuhan otot-otot wajah. Secara klinis terlihat adanya keterlibatan UMN dan LMN dengan lidah yang spastis , refleks jaw-jerk yang meninggi seperti juga pada anggota gerak 3
Pada progressive muscular atrophy yang menonjol adalah keterlibatan LMN dari otot-otot ekstremitas tanpa gambaran keterlibatan UMN yang jelas 1,3,9 .Tetapi refleks tendon yang menurun membedakannya dari progressive spinal muscular atrophy. Biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan tidak ada riwayat penyakit yang mirip dalam keluarga .Pada 50% kasus PMA terlihat atrofi dari otot-otot intrinsik tangan yang simetris yang secara perlahan berlanjut ke proksimal. Perjalanan penyakitnya lebih lambat dari tipe lain 1 .Bentuk infantil dari PMA bermanifestasi seperti floppy infant dan disebut penyakit Werdnig-Hoffinan. Variasi yang lain dengan distribusi ke proksimal dikenal sebagai penyakit Kugelberg-Welander . Traktus kortikospinalis tidak terlibat dan tidak ada gangguan sensoris 6
Penderita primary lateral sclerosis menunjukkan paraparese spastik yang berjalan lambat lain melibatkan otot-otot lengan dan orofaring 1,3 .Tipe ini sangat jarang dijumpai .Penyakit dimulai pada usia dewasa dengan tanda-tanda keterlibatan
traktus kortikospinalis sekunder terhadap rusaknya neuron motorik di korteks serebri
©2004Digitized by USU digital library 4
.Tidak dijumpai atrofi maupun fasikulasi 6. Fungsi sfingter biasanya baik 3. Pada beberapa penderita dijumpai hemiparese spastik yang progresif yang dikenal sebagai
varian Mills. Setelah beberapa tahun gerakan jari-jari melambat, lengan menjadi spastik dan terjadi gangguan berbicara Pringle dkk. menyarankan kriteria diagnostik yang penting yaitu suatu perkembangan penyakit selama 3 tahun tanpa bukti keterlibatan LMN 1.

DIAGNOSA DAN PEMERlKSAAN
Yang terpenting untuk menegakkan diagnosa MND adalah diagnosa klinis 3,4 Karena belum ada pemeriksaan khusus untuk MND, maka diagnosa pasti baru dapat diketahui pada otopsi post-mortem dengan memeriksa otak ,medulla spinalis dan otot penderita. Gejala utama yang menyokong diagnosa adalah adanya tanda-tanda
gangguan UMN dan LMN pada daerah distribusi saraf spinal tanpa gangguan sensoris dan biasanya dijumpai fasikulasi spontan. Gambaran khasnya berupa kombinasi tanda-tanda UMN dan LMN pada ekstremitas dengan adanya fasikulasi lidah 10
Implikasi dari penegakan diagnosa MND adalah bahwa kita menegakkan adanya suatu penyakit yang akan berkembang terus menuju kematian. Jadi penting sekali untuk menegakkan diagnosa secara teliti dengan menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain dengan melakukan pemeriksaan yang lengkap dan sesuai. Pemeriksaan elektrofisiologis, radiologis, biokimiawi, imunologi dan histopatologi mungkin diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya.
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menegakkan .diagnosa MND 3 .Rekaman EMG menunjukkan adanya fibrilasi dan fasikulasi yang khas pada atrofi akibat denervasi 15
Pemeriksaan biokimiawi darah penderita MND kebanyakan berada dalam batas normal 3,14 .Punksi lumbal dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa MND. Protein cairan serebrospinal sering dijumpai normal atau sedikit meninggi 1,3,6,9 .Kadar plasma kreatinin kinase (CK) meninggi sampai 2-3 kali nilai normalnya pada sebagian penderita 3,4,6, tetapi penulis lain menyatakan kadarnya normal atau hanya sedikit meninggi 1,9. Enzim otot carbonic anhydrase III (CA III) merupakan petunjuk yang lebih sensitif 3.
Pemeriksaaan radiologis berguna untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosa lainnya .MRI dan CT-scan otot bermanfaat untuk membedakan atrofi otot
neurogenik dari penyakit miopatik dan dapat menunjukkan distribusi gangguan penyakit ini 3 .MRI mungkin dapat menunjukkan sedikit atrofi dari korteks motorik dan degenerasi Wallerian dari traktus motorik di batang otak dan medulla spinalis 1 .
Block dkk mendemonstrasikan kemampuan proton magnetic resonance spectroscopy untuk mendeteksi perubahan metabolik pada korteks motorik primer dari penderita MND yang sesuai dengan adanya kerusakan sel neuron regional dan berbeda secara bermakna dengan orang sehat atau penderita neuropati motorik 16,17
Biopsi otot mungkin perlu dilakukan untuk membedakan MND yang menimbulkan slowly progressive proximal weakness dari miopati 1,11. Bila dilakukan biopsi otot, terlihat serabut otot yang mengecil dan hilangnya pola mosaik yang nomlal dari serabut-serabut otot .

Diagnosa MND menurut El Escorial Criteria For ALS Diagnosis adalah 18 :
1. ALS:
�� tanda UMN dan LMN pada regio bulbar dan minimal 2 regio spinal, atau
�� tanda UMN dan LMN pada 3 regio spinal.
2. Kemungkinan besar ALS (probable ALS) :
�� tanda UMN dan LMN pada minimal 2 regio (beberapa tanda UMN harus restoral terhadap tanda LMN)
3. Kemungkinan ALS (possible ALS) :
�� tanda UMN dan LMN hanya pada 1 regio atau
�� hanya tanda UMN pada minimal 2 regio atau
�� tanda LMN rostral terhadap tanda UMN.
4. Curiga ALS (suspected ALS) :
�� tanda LMN pada minimal 2 regio.
Handisurya dan Yan Utama 6 mengajukan kriteria diagnostik MND berdasarkan :
1. Anamnesa: adanya kelemahan yang progresif.
2. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai :
a. adanya gangguan motorik.
b. tidak ada gangguan sensorik.
c. tidak ada gangguan fungsi otonom.
d. didapat salah satu atau keduanya dari tanda-tanda LMN (atrofi, fasikulasi) dan tanda-tanda UMN (peninggian refleks tendon pada ekstremitas yang atrofi, refleks patologis yang positif).
3. Pemeriksaan penunjang :
a. laboratorium: kadar protein dalam CSS normal atau sedikit meninggi.
b. Enzim CPK meningkat (pada 70% kasus).
c. EMG: terdapat adanya potensial denervasi dan otot-otot yang dipersarafi oleh dua atau lebih akar safar pada setiap tiga daerah atau lebih (ekstremitas, badan, kranium). Biasanya terdapat potensial sinkron, kadang-kadang terdapat giant potential.
d. KHS: normal
e. Biopsi otot : terdapat gambaran histologis yang sesuai dengan atrofi neurogen.
f. Biopsi saraf: tidak terdapat kelainan pada safar

DIAGNOSA BANDING
1. Syringomyelia. Biasanya ditemukan otot-otot ektremitas superior dan otot-otot bulbar yang mengecil.
2. Spondilitis servikalis. Bisa dijumpai kombinasi lesi UMN dan LMN pada otot-otot ekstremitas superior. Biasanya disertai gangguan sensoris.
3. Neuropati motorik. Dijumpai gangguan konduksi saraf motorik dengan penurunan refleks tendon dan sedikit gangguan sensoris.
4. Miopati hipertiroidi. Dapat berupa kelumpuhan otot-otot dengan keterlibatan bulbar. Bisa dijumpai fasikulasi tetapi tidak ada tanda-tanda gangguan traktus kortikospinalis dan biasanya dijumpai tanda klinis hipertiroidi.
5. Spinal muscular atrophy. Berbeda dengan MND karena tidak ada keterlibatan traktus kortikospinalis, biasanya berjalan lambat dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga.
6. Multiple entrapment neuropathies. Biasanya disertai gangguan sensibilitas, nyeri dan Tinel's sign yang positif.
7. Multiple sclerosis. Biasanya disertai neuritis optika, diplopia dan gangguan otot-otot ekstraokular serta adanya tanda-tanda keterlibatan serebellar.
8. Penyakit vaskular multifokal. Keadaan ini dapat menyebabkan pseudobulbar palsy dengan tetraparese spastik tanpa gangguan sensoris. Tetapi biasanya disertai riwayat stroke berulang dan sering pula disertai dengan gangguan pada gerakan bola mata.
9. Sindroma post poliomielitis. Adanya kelumpuhan baru dari otot-otot disertai atrofi yang terjadi pada otot-otot yang sebelumnya telah atau belum terlibat pada fase akut infeksi poliomielitis. Biasanya baru timbul paling sedikit 15 tabun setelah infeksi poliomielitis akut. Berbeda dari MND dalam hal kecepatan berkembang penyakitnya, kelumpuhan bulbar dan tidak adanya tanda-tanda keterlibatan traktus kortikospinal.

PENATALAKSANAAN
MND adalah penyakit yang menakutkan karena penyakitnya terus berlanjut sedangkan terapinya belum ada yang efektif disertai adanya beberapa gejala klinis yang progresif. Belum ada terapi yang spesifik untuk penyakit MND, yang ada baru berupa terapi suportif 1,6,11,12,14. Penatalaksanaan penderita MND membutuhkan pendekatan multidisiplin bervariasi menurut latar belakang sosial ekonomi, budaya dan keluarga 15. Penyakit ini menyangkut problem erika, logistik dan edukasi.
Masalah etika terlibat pada saat pengambilan keputusan untuk memberikan alat bantu penafasan buatan, pemberian makan dengan cara artifisial dan penggunaan obat-obat golongan narkotik pada tahap akhir penyakit ini. Masalah logistik dan edukasi timbul dari jarangnya penyakit ini dijumpai dan kenyataan bahwa banyak dokter maupun perawat yang kurang berpengalaman menangani paralise bulbar dan paralise pernafasan kronik yang progresif.
Tujuan terapi adalah mempertahankan penderita dapat berfungsi dengan baik selama mungkin, membantu stabilitas emosi dan menangani masalah fisik bila sudah
timbul 12 .Obat-obat seperti baclofen, diazepam, tizanidine dan dantrolene dapat
dipakai untuk mengatasi spastisitas yang terjadi.
Bensimon dkk. melaporkan penggunaan riluzole, suatu zat anti glutamat, dapat memperlambat perkembangan MND dengan bulbar onset dan memperpanjang harapan hidup penderita selama 3 bulan .Riluzole adalah suatu derivat benzothiazole yang menghambat pelepasan glutamat dari ujung safar presinaptik ; menstabilkan 'sodium channels' pada keadaan inaktif dan mengantagonis efek glutamat di postsinaptik melalui mekanisme yang belum diketahui dengan sempurna 1,9,11,14,19,20
Penelitian farmakologi klinik ditujukan pada pengembangan obat yang dapat mempengaruhi fungsi motorik melalui aksi langsung pada UMN dan LMN, atau secara tidak langsung melalui sirkuit saraf atau jaringan penyokongnya. Penggunaan TRH dan analog TRH, recombinant insulin-like growth factorIGF-I) , faktor neurotropik seperti brain -derived neurotrophic factor (BNDF) dan ciliary neurotrophic factor (CNTF) , bloker reseptor glutamat seperti dextamorphan ,serta penghambat superoxydase dysmutase masih dalam penelitian 6.9,12.19,20
Dalam praktek sehari-hari beberapa gejala yang sangat mengganggu sering ditemukan seperti disfagia, tersedak, liur menetes clan disartria 20 .Untuk mengatasi liur menetes penderita dianjurkan menjaga posisi kepalanya sedikit ekstensi, latihan menutup mulut , mengurangi makanan yang mengandung susu atau mengulum potongan es. Kalau perlu dapat diberi atropin peroral, amitriptilin atau piridostigmin.
Untuk mengatasi disfagia, penderita dilatih mencari makanan dengan ujung lidah, meregang lidah, menggigit dengan kuat dan menutup mulut. Makanan yang lunak tetapi padat lebih baik daripada makanan cair. Karena penderita sulit menelan cairan, makanan yang dikonsumsinya harus banyak mengandung air. Mengulum potongan es kadang-kadang dapat membantu penderita agar dapat menelan dengan
lebih baik. Neostigmin atau piridostigmin dapat diberikan bila perlu .Pemasangan NGT dilakukan bila : (1). Dehidrasi berat ; (2). Sering tersedak ; (3). Pneumonia
aspirasi ; (4). Sangat sulit menelan clan (5) Berat badan menurun terus (21). Agar tidak sering tersedak dianjurkan agar makan perlahan-lahan, setelah mengunyah tunggu sebentar sebelum menelan makanan, tetap dalam posisi duduk 30 menit setelah makan dan frekuensi makan ditambah tetapi dengan porsi kecil21
Fisioterapi terutama ditujukan untuk melatih sisa-sisa serabut otot yang
reinervasi yang masih dapat dilatih dan untuk otot yang mengalami disuse atrophy pada penderita yang cacat atau inaktif 6 .Pergerakan sendi perlu untuk menghindari kekakuan sendi dan nyeri. Fisioterapi juga diperlukan karena dapat membantu mengatasi kekecewaan penderita. Penanganan psikososial ditujukan untuk membantu stabilitas emosi penderita dan keluarganya begitu mengetahui MND adalah penyakit yang belum dapat diobati. Penderita harus memperoleh penjelasan bahwa ia masih dapat hidup normal dengan penyakitnya tersebut dan dapat mengatasi problem yang muncul.

PROGNOSA
Pada tahap awal, penyakit ini sulit untuk diramalkan prognosanya ; walaupun secara umum prognosa MND jelek 6 .Adanya pseudobulbar palsy yang cepat berkembang biasanya menunjukkan prognosa yang jelek .Tanda-tanda LMN dari ekstremitas mungkin mengarah ke prognosa yang lebih baik 3,15 .Kematian pada penderita MND biasanya akibat infeksi saluran nafas, pneumonia aspirasi atau asfIksia 4 .Faktor lain yang mempengaruhi prognosa adalah kesehatan fisik dan mental penderita sebelumnya, adanya penyakit lain yang bersamaan dan usia penderita. Faktor non medis yang berpengaruh adalah latar belakang pendidikan , sosial ekonomi, kondisi rumah dan kondisi kesehatan pasangannya 3
15 sampai 20 % penderita dapat bertahan hidup sampai 5 tahun atau lebih sejak penyakit timbul. Rata-rata penderita dapat bertahan hidup lebih kurang 3-4 tahun setelah diagnosa MND ditegakkan 3. Menurut Adams dkk. 50% penderita ALS akan meninggal dalam 3 tahun dan setelah 6 tahun 90% meninggal. Penderita PBP umurnnya meninggal dalam waktu 2-3 tahun sejak mulainya penyakit ini. 72% penderita PMA masih bertahan setelah 5 tahun bila penyakitnya timbul sebelum umur 50 tahun dan bila timbul setelahnya hanya 40% yang bertahan 1. Christensen dkk (1990) dan Chancellor dkk (1993) melaporkan bahwa penderita MND dengan bulbar onset rata-rata dapat bertahan hidup selama 20 bulan sejak gejala pertama timbul dan hanya 5% yang tetap hidup setelah 5 tahun. Sedangkan untuk MND dengan spinal onset dapat bertahan hidup selama 29 bulan sejak gejala pertama dan
15% dapat hidup sampai 5 tahun 11.

KEPUSTAKAAN
Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed. New York: Mc-Graw Hill Co ; 1997. p.1089-1094.
Martin JE, Swash M. The Pathology of Motor Neuron Disease. In : Leigh PN , Swash M. editors. Motor Neuron Disease Biology and Management. London: Springer-Verlag ;1995.p.163-188.
Swash M, Schwartz MS. Motor Neuron Disease: The Clinical Syndrome. In : Leigh PN., Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management. London: Springer-Verlag ; 1995.p.1-17.
Greenhall R. Motor Neurone Disease: A description. In: Cochrane GM editor. The Management of Motor Neurone Disease. Edinburgh: Churchill Livingstone ;1987.p.1-13.
Chou SM. Pathology of Motor System Disorder. In : Leigh PN , Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management. London: Springer-Verlag ; 1995.p.53-92.
Handisurya I, Utarna Y. Gambaran Klinis Motor Neuron Disease. Neurona. 1995; 12 : 21-26.
Martin JE, Swash M. The Pathology Of Motor Neuron Disease. In : Leigh PN ,
Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management. London: Springer-Verlag ;1995.p.93-118.
Kondo K .Epidemiology of Motor Neuron Disease. In : Leigh PN, Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management London: Springer-Verlag;1995.p. 17-33.
LloydCM, LeighPN. Motor Neuron Disease. Med.Int 1996; 10(34): 100-102.
de Belleroche J, Leigh PN, Rose FC. Familial Motor Neuron Disease. In : Leigh PN , Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology And Management. London:Springer Verlag ;1995.p.35-91.
Donaghy M. Motor Neuron Disease of Adults. In : Kennard C.editor. Recent Advances In Clinical Neurology. Edinburgh: Churchill-Livingstone; 1995.p.73-85.
Johnson RT, Griffin JW. Current Therapy In Neurologic Disease. 5th ed. St.Louis: Mosby; 1997.p. 307-311.
Appel SH, Engelhardt JL, Smith RG, Stefani E. Theories of Causation. In : Leigh PN ,Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management. London: Springer-Verlag; 1995.p.219-227.
Bensimon G. Lacomblez L, Meininger V and The ALS/Riluzole Study Group. A Controlled Trial of Riluzole In Amyotrophic Lateral Sclerosis. New Eng.J.of Med. 1994; 330(9): 585-591.
Leigh PN. Amyotrophic Lateral Sclerosis Differential Diagnosis and Management. Neurosciences. 1997; 2(3): 120-123.
Elliot JL. A Clearer View of Upper Motor Neuron Dysfunction in Amyotrophic Lateral Sclerosis. Arch.Neurol. 1998; 55 : 910-912.
Block W, Karitzky J, Traber F et.al. Proton Magnetic Resonance Spectroscopy of the Primary Cortex in Patients with Motor Neuron Disease. ArchNeurol. 1998 ; 55 : 931-936.
Bromberg MB. Inclusionary Diagnosis of Amyotrophic Lateral Sclerosis. World Neurology. 1997; 12(2): 11-13.
Leigh PN. Pharmacological Management of Amyotrophic Lateral Sclerosis Neurosciences. 1997; 2(3): 116-117.
GuilofI RJ. Clinical Pharmacology of Motor Neurons. In : Leigh PN, Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management London: Springer- Verlag; 1995.p.17-33.
Enderby P, Hewer RL. Communication and Swallowing: Problems and aids. In Cochrane GM editor. The Management of Motor Neurone Disease. Edinburgh : Churchill Livingstone; 1987: 22-47